Kamis, 02 Juni 2011

Merasa Puas dan Makna Kognitif Dibaliknya

Kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin hari semakin banyak. Pasca Reformasi yang telah bergulir 13 tahun tidak menyurutkan langkah para koruptor, malahan jenis korupsi dan gayanya semakin beragam. Semuanya seperti berlomba-lomba untuk terus menerus mengeruk uang negara yang dianggap oleh para koruptor adalah uang halal yang boleh diambil sesukanya jika ada kesempatan.

Apakah koruptor-koruptor ini tidak kaya materi dalam kehidupan sehari-harinya, tentu saja kalau ditanyakan kepada mereka jawabannya mungkin bahwa mereka belum kaya. Tapi pada kenyataannya mereka sebenarnya hidupnya sudah berkecukupan apalagi jika dibandingkan dengan warga masyarakat Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan. Lalu mengapa masih merasa kurang cukup dan merasa masih perlu korupsi, apakah ini pertanda kerakusan dan rasa tidak puas ?

Merasa Puas

Dalam praktek sehari-hari sebagai seorang Psikiater saya banyak menemukan orang-orang yang tidak merasa puas dengan kehidupannya. Ketidakpuasan ini tergambar dalam kondisi fisik maupun mental. Secara fisik mereka merasa kurang cantik, kurang tinggi jabatannya, kurang banyak harta dan kekurangan materi lain. Secara mental mereka merasa kurang pintar, kurang bisa bergaul, kurang bisa melakukan hal-hal yang berguna dan banyak kekurangan non-materi lain.

Padahal bila saya lihat secara obyektif, pasien ini sebenarnya mempunyai banyak kelebihan namun sayangnya kelebihan ini tertutup oleh perasaan kekurangan yang dilebih-lebihkan. Kalau saja dalam diri kita terdapat 99 persen kebaikan dan 1 persen kekurangan, maka jika kita hanya melihat yang 1 persen lalu kemudian membesar-besarkannya maka yang terlihat dalam persepsi kita adalah yang 1 persen ini. Punya 99 persen kebaikan akan menjadi percuma jika kita tidak melihatnya. Seperti mempunyai intan berlian tapi tidak tahu itu apa.

Proses Kognitif

Salah satu tugas seorang psikiater dalam proses terapi adalah memperlihatkan secara obyektif keadaan ini. Lewat proses terapi kognitif keadaan ini akan menjadi terlihat lebih nyata dan diharapkan mampu mengubah persepsi yang salah pada diri pasien. Proses terapi kognitif diawali dengan pengenalan terhadap masalah dan memperlihatkannya kepada pasien dengan cara yang obyektif. Lewat proses wawancara terstruktur persepsi-persepsi salah yang dimiliki pasien kemudian diuraikan dan di”counter” dengan kenyataan obyektif yang ada.

Tentunya proses ini tidak berlangsung singkat. Seperti orang yang belajar hal yang baru, maka latihan dan keinginan untuk berubah adalah modal yang paling baik untuk mampu menjalani terapi ini dengan baik. Kerjasama antara psikiater dengan pasien yang dilandasi dengan empati dan saling percaya sangat penting. Pasien juga harus mau untuk membantu dirinya sendiri mengubah persepsi yang salah tentang dirinya. Usaha ini memerlukan usaha dan energi yang besar karena pada dasarnya manusia seringkali tidak mau berubah untuk hal yang baik sekalipun.

Semuanya di Tangan Kita

Semua perubahan di tangan kita. Saya tekankan lagi bahwa proses perubahan ada di tangan kita sendiri. Tidak ada orang yang bisa menyerahkan proses ini kepada siapapun juga. Jika anda ingin berubah maka pertama niatkanlah dan lihat apa yang ingin kita ubah. Fokus dan selalu kembali kepada niat kita jika tampak kita mulai kehilangan arah. Niscaya lama kelamaan proses ini akan menjadi nyata hasilnya. Kembali kepada masalah koruptor di atas, kalau sang calon koruptor atau koruptor ini merasa memang tidak ada yang salah dalam dirinya, artinya memang akan sulit mengubah perilakunya dan pikirannya. Apapun yang dikatakan orang, itu tidak akan berguna.

Lalu kita bisa berbuat apa kalau demikian ? Berdiam diri atau ada usul untuk melakukan sesuatu ?

Salam Sehat Jiwa

Tidak ada komentar: