Rabu, 30 Januari 2013

Mengapa Harus Makan Antidepresan?


oleh : dr.Andri,SpKJ (Psikiater)

Pertanyaan seperti di atas sering kali datang kepada saya saat bertemu dengan pasien di ruang klinik. Pasien biasanya bertanya apakah dirinya perlu makan obat untuk mengatasi kondisinya saat ini. Kebanyakan pasien yang datang ke praktek saya memang mengalami gangguan kecemasan dengan gangguan kecemasan panik menempati urutan yang paling banyak. 
Pasien yang datang biasanya sudah mengalami masalah selama beberapa bulan sampai tahun. Kondisi kehidupan pribadi maupun sosialnya biasanya sudah mengalami penurunan. Pasien cemas panik sering malah kesulitan untuk keluar rumah sendiri dan harus ditemani orang lain. Belum lagi gejala-gejala fisik yang dikenal sebagai keluhan psikosomatik yang sering membuat pasien tidak nyaman dengan dirinya. 
Kasus-kasus yang datang ini kebanyakan sudah menahun dan pernah mengalami pengobatan sebelumnya namun tidak berhasil sembuh baik. Banyak faktor yang mengakibatkan kesembuhan yang tidak sempurna. Salah satunya adalah ketidakpatuhan makan obat. 

Obat Harus dimakan teratur
Pengobatan pasien dengan gangguan cemas panik dan yang mengalami gejala-gejala psikosomatik saat ini disarankan menggunakan obat antidepresan golongan sertraline atau golongan SSRI jenis lain. Dahulu dan bahkan sampai saat ini penggunaan obat anticemas (anxiolytic) memang masih sering menjadi pengobatan namun karena efeknya yang sering kali sulit lepas dan adanya toleransi maka penggunaan anxiolytic terutama yang berwaktu paruh pendek (obat ini habis masa kerjanya pendek di dalam darah) seringkali dihindari.
Alprazolam yang terkenal untuk kasus gangguan cemas panik terutama mampu mengobati dengan cepat saat serangan panik datang juga perlu diperhatikan penggunaannya. Kebanyakan tidak disarankan lebih dari 8 minggu dengan dosis yang lebih baik rendah. Sayangnya dalam berbagai literatur dan pengalaman klinis yang dicatat oleh beberapa ahli, penggunaan alprazolam untuk pasien gangguan cemas panik membutuhkan dosis lebih tinggi. Sayangnya obat ini mudah meningkat pemakaiannya apalagi pada pasien dengan riwayat penggunaan alkohol dan zat narkotika lain.  
Saat ini pasien dengan gangguan cemas panik seperti juga gangguan depresi lebih disarankan menggunakan obat antidepresan golongan SSRI. Efektifitasnya dan tolerabilitasnya yang baik membuat obat ini menjadi pilihan pertama saat ini. Efeknya untuk menstabilkan kondisi kimiawi otak terutama terkait serotonin mempunyai hasil memberikan pasien kondisi perbaikan dalam gejala kecemasannya. 
Satu hal yang perlu diingat oleh pasien adalah dibandingkan dengan obat benzodiazepine termasuk di antaranya Alprazolam, efek obat antidepresan seperti sertraline misalnya lebih lama menimbulkan efek di pasien. Efek anticemasnya baru akan lebih bekerja di minggu kedua sampai ke empat. Pasien juga sering kali merasakan efek samping yang tidak nyaman seperti kepala kencang, mual dan gangguan fungsi seksual seperti libido yang menurun dan susah ejakulasi bagi laki-laki. Namun demikian pemakaian obat harus diteruskan. 
Saya pernah membaca salah satu blog dokter jiwa di Amerika Serikat yang menuliskan mengapa antidepresan lebih baik diresepkan oleh dokter jiwa alias psikiater. Hal itu disebabkan psikiater lebih memahami efek obat dan efek samping yang mungkin timbul. Di Amerika Serikat kita ketahui dokter umum boleh meresepkan obat-obat antidepresan namun sering kali pengetahuannya tidak mencukupi. Pasien sering kali mengeluh efek samping dan dokter buru-buru menghentikan penggunaan obat. Padahal efek samping akan hilang berjalannya waktu. 

Lama Makan Obat Diperhatikan
Pasien juga selain harus patuh makan obat setiap hari juga perlu memakan obat dalam jangka waktu tertentu. Kalau kita melihat rujukan ilmiah dari Amerika Serikat, maka penggunaan obat antidepresan pada kasus gangguan kecemasan bisa sampai 12 bulan sejak gejala membaik. Hal ini agar mencegah keberulangan. Beberapa literatur lain mengatakan cukup 6 bulan sejak perbaikan terjadi.
Banyak pasien yang merasa nyaman di minggu-minggu awal kemudian menghentikan pengobatan. Hal inilah yang perlu diingat dan dihindari oleh pasien agar tidak menjadi kambuh dan harus mengulangi pengobatan dari awal. 
Semoga informasi ini berguna. Salam Sehat Jiwa

Minggu, 06 Januari 2013

Pilihan Kasus Psikosomatik : Tata Laksana Pasien

Oleh : dr.Andri,SpKJ
Kepala Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera

Tahun 2013 ini telah memasuki tahun ke-7 saya memberikan perhatian yang besar kepada kasus-kasus psikosomatik dalam praktek psikiatri sehari-hari. Banyak yang telah saya alami di dalam praktek dan interaksi antara saya dan pasien membuat saya semakin "kaya" pengalaman berbagai macam kasus psikosomatik yang bisa dialami tua dan muda, wanita maupun laki-laki.
Belakangan ini kasus-kasus yang datang ke klinik Psikosomatik RS OMNI lebih banyak merupakan kasus kronik yang pernah mendapatkan pengobatan dari psikiater lain. Hal ini merupakan tantangan sendiri karena bagaimanapun harapan pasien yang sudah mengalami psikosomatik kronik akan sedikit banyak berbeda dengan yang baru saja mengalami. Apalagi jika pasien sudah pernah berobat ke psikiater lain dan belum mendapatkan perbaikan yang menurut pasien signifikan.
Di bawah ini saya akan mencoba menceritakan beberapa kasus pasien yang saya anggap menarik dan bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi saya dan pasien juga tentunya. Beberapa kasus termasuk kasus "sembuh sebagian (partial remission)" dan "respon sebagian (partial response)".

Kasus 1.
Pasien seorang wanita usia 30 tahun dengan keluhan "sakit maag" yang tidak kunjung baik. Kondisinya sendiri sudah sampai dilakukan endoskopi namun dinyatakan hanya mengalami peningkatan gas lambung dan asam lambung. Terapi untuk kondisi ini sudah dijalankan selama lebih dari 6 bulan tetapi tidak mengalami perubahan berarti, pasien hanya sembuh jika makan obat dan kemudian berulang kembali. Keluhan cemas dan jantung berdebar mulai dirasakan pasien pada akhirnya setiap lambungnya terasa tidak nyaman atau terasa naik asam lambungnya.
Setahun sebelum bertemu saya di klinik pasien sudah pernah berobat ke psikiater dan diberikan obat Escitalopram (merk dagang Cipralex) dan racikan obat yang salah satunya berisi alprazolam. Pasien menjalani pengobatan dengan obat ini selama setahun namun tidak mengalami perubahan yang signifikan terhadap keluhan utamanya. Karena merasa bosan, pasien memutuskan untuk berhenti makan obat dan mulai mencari dokter lain. Pasien akhirnya datang ke klinik tempat saya praktek walaupun harus menempuh perjalanan lintas propinsi.
Ketika melihat dan memeriksa pasien, terlihat keluhan pasien pada dasarnya memang merupakan keluhan lambung yang lebih ke arah gangguan lambung fungsional (Functional Gastrointestinal Disorder). Keluhan kondisi lambung seperti ini kebanyakan mengalami keluhan seperti kebanyakan pasien yang mengalami maag tetapi biasanya dibagi menjadi dua keluhan utama yaitu kembung (dismotilitas) ataupun banyak buang air. Dalam ilmu kedokteran psikosomatik medis, penyakit seperti ini sering disebut Irritable Bowel Syndrome.
Kondisi ini erat kaitannya dengan suatu mekanisme sistem adaptasi di otak yang biasanya berhubungan dengan ketidakseimbangan sistem saraf otonom terutama parasimpatis. Itulah mengapa keluhan psikosomatik ini sering kali bermanifestasi sebagai keluhan cemas juga. Selain itu asam lambung yang terlalu tinggi dan naik ke kerongkongan (esofagus) bisa memicu sistem saraf vagus di kerongkongan yang membuat pasien menjadi tidak nyaman di organ jantungnya.
Penanganan kasus pasien ini tetap menggunakan antidepresan tetapi antidepresan escitalopram yang telah dahulu diberikan tidak digunakan lagi. Pilihan jatuh pada Sertraline obat antidepresan yang sudah lebih dikenal lama. Obat-obat maag yang bisa diteruskan biasanya dari golongan prokinetik. Follow-up pada pasien ini menunjukkan respon baik pada dua minggu setelah pemberian obat. Gejala-gejala lambung berkurang dan perasaan cemas sudah tidak terlalu lagi.
Rencana pengobatan akan diteruskan dalam tempo 3 bulan sejak keluhan membaik dan akan dihentikan semua pengobatan rencananya pada bulan ke-4.

Kasus 2.
Pasien laki-laki usia 39 tahun dengan keluhan sering merasa cemas dan takut sendirian jika keluar rumah. Keluhan ini sebenarnya sudah berlangsung lebih dari 2 tahun. Sejak 2 tahun mengalami kondisi ini pasien menjadi sulit untuk mengendarai kendaraan dan takut bepergian ke mana-mana bila tidak ada teman. Pasien juga takut mengendarai mobil sendiri. Pasien juga menjadi takut terbang padahal pekerjaannya mengharuskan demikian. Saat datang ke klinik sekitar 6 bulan lalu pasien merasakan tidak nyaman yang sangat dan sudah tidak merasa mampu untuk bekerja karena hilangnya minat.
Keluhan fisik yang dialami lebih ke arah ketakutan akan jantungnya yang bisa mengalami masalah walaupun sudah mengalami pengecekan yang berkali-kali. Pasien lebih menampakan keluhan psikologis seperti rasa cemas yang tidak nyaman, sulit tidur dan khawatir terhadap kesehatan terutama jantung yang berlebihan.
Pada wawancara dan pemeriksaan fisik saat berkonsultasi pasien didiagnosis dengan Gangguan Kecemasan Menyeluruh. Keluhan psikosomatik yang dialami pasien adalah suatu respon sistem saraf otonom terutama sistem saraf otonom simpatik yang membuat denyut jantungnya lebih cepat. Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan denyut nadi pasien 98 kali permenit dan pasien mengatakan memang sering mengalami berdebar jika perasaan tidak nyaman itu datang. Hal ini yang sering kadang membuatnya lemas.
Pada dua bulan pertama pengobatan pasien menggunakan obat jenis Sertraline dan obat anticemas clonazepam yang telah diberikan di awal minggu pertama namun tidak dilanjutkan karena perasaan lebih nyaman selanjutnya. Pada bulan kedua setelah dilakukan kontrol kembali, pasien mengatakan keluhannya tidak hilang secara sempurna. Kadang dalam sebulan ada kalanya pasien merasakan tidak nyaman sampai 3 kali. Terapi kognitif sudah dilakukan tetapi tidak terlalu berhasil pada pasien karena keterbatasan yang ada.
Saya kemudian merencanakan perubahan obat karena respon yang parsial setelah 8 minggu pemakaian. Penggantian obat antidepresan sebenarnya dimungkinkan jika obat sudah dipakai selama lebih 8 minggu namum tidak mengalami perubahan yang baik. Selain itu pilihan lainnya adalah menaikan dosis. Namun cara pertama yaitu mengganti obat antidepresan dari Sertraline ke Venlafaxine XR yang merupakan golongan Serotonin Norephineprine Reuptake Inhibitor lebih dipilih karena alasan efek samping yang lebih mungkin timbul pada dosis Sertraline yang lebih besar dan faktor ekonomis.
Setelah dua minggu pemakaian pasien merasa obat saat ini lebih membuatnya nyaman dan kontrol selanjutnya pasien mengatakan sebulan ini sudah tidak pernah lagi mengalami keluhan kecemasan. Kondisi ini terus berlanjut sampai bulan kedua sejak pemakaian obat Venlafaxine XR dan rencananya akan diteruskan pengobatannya sampai 6 bulan.

Penutup
Kasus-kasus pasien yang saya temui sehari-hari memang kebanyakan kasus dengan keluhan psikosomatik. Sembilan puluh persen pasien yang datang mengeluh keluhan psikosomatik walaupun gejala-gejalanya beragam dan sudah pasti diagnosisnya pun beragam.
Beberapa kasus memang ada yang mempunyai respon lambat terhadap pengobatan namun juga ada yang segera. Kasus-kasus remisi/sembuh tidak sempurna sering juga dialami dan ini memerlukan teknik untuk mencapai suatu kondisi yang diinginkan bersama.
Semoga tampilan kasus ini bisa memberikan kepada kita suatu pemahaman yang lebih baik tentang gejala-gejala psikosomatik

Salam Sehat Jiwa