Rabu, 25 Juli 2012

Otak Yang Rusak Awali Gangguan Jiwa


Oleh : dr.Andri,SpKJ

Saat menuliskan artikel ini saya masih berada di Manila dan baru saja menyelesaikan pelatihan selama 3 hari tentang obat-obatan yang dipakai di dalam praktek psikiatri sehari-hari. Sejak Senin pagi setiap hari dari jam 9 pagi sampai dengan jam 5 sore pelatihan dilakukan berisi kuliah, presentasi kasus, diskusi, tanya jawab antara peserta dengan para pembicara yang terdiri dari Prof Brian E Leonard (Irlandia), Prof Joseph Zohar (Israel) dan Prof Siu Wa Tang (Hongkong) yang merupakan direktur dari Institute of Brain Medicine, suatu organisasi non-profit yang menyelenggarakan pelatihan tentang obat-obatan psikiatri bagi para praktisi di negara-negara Timur Jauh.
Beberapa hal yang baru didapatkan dari pelatihan ini, sekaligus juga bisa bertemu langsung dengan para ahli menanyakan beberapa kesalahpahaman yang mungkin telah terjadi selama ini namun merupakan suatu kebiasaan di klinik yang lebih bersifat praktis. Intinya pelatihan ini memang ingin membawa penelitian-penelitian berbasis bukti (Evidence Based Medicine/EBM) ke para parktisi dengan cara yang lebih memakai pendekatan klinis. Tidak heran dalam pelatihan ini selain berisi diskusi dan kuliah tentang dasar-dasar obat, diskusi tentang apa yang dialami sehari-hari di praktek sehari-hari lebih ditekankan. Berbagai pendekatan dilakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan klinis yang ada. Kritik terhadap apa yang telah dilakukan secara umum juga dilakukan. Semua berguna agar peserta pelatihan mendapatkan manfaat dan mampu menjadi praktisi klinis yang lebih baik. Tujuan akhirnya adalah memberikan pengobatan yang tepat dan bertanggung jawab terhadap pasien.

Otak Adalah Sumber Segalanya
Penekanan pertama dari Prof Tang adalah tentang otak dan sistem yang terlibat dalam timbulnya gangguan jiwa. Semua gangguan jiwa dibahas dari segi sistem otak dari mekanisme anatomisnya sampai molekularnya. Pembahasan yang mendalam membuat beberapa peserta termasuk saya berusaha mencerna perlahan-lahan apa yang telah diberikan oleh Prof Tang.  Sebagai praktisi kebanyakan dari kami walaupun berasal dai institusi pendidikan biasanya tidak terbiasa mendalami gangguan jiwa sampai ke tingkat molekular di dalam otak. Beruntung Prof Tang sebagai fasilitator memberikan kunci-kunci agar kiat semua para peserta mampu untuk mendalami hal ini lebih dalam lagi. Beberapa dari kami di minta untuk menjawab pertanyaan dan mempresentasikan beberapa pertanyaan itu. Sistem evaluasi setiap hari yang dilakukan membuat kita tidak bisa “santai” mengikuti pelatihan ini.
Prof Leonard lebih menekankan bahwa apa yang selama ini terjadi di klinis adalah suatu kondisi yang sebenarnya sudah dimulai sejak terjadinya perubahan sistem di otak orang yang mengalami gangguan jiwa namun belum menunjukkan gejala. Artinya ketika datang ke dokter dengan gejala-gejala gangguan jiwa yang terdiri dari gejala pikiran, perasaan dan perilaku, sudah bisa dipastikan telah terjadi kerusakan sistem otak yang jauh sebelum pasien itu mengalami gejala-gejala saat ini. Pembahasan tentang berapa lama obat diberikan, dosis yang tepat yang seringkali selama ini diberikan dengan dosis yang kurang juga menjadi bahasan menarik.
Prof Zohar menekankan pentingnya diagnosis terutama pada kondisi-kondisi sulit seperti pasien dengan gangguan obsesif kompulsif dengan adanya gejala gangguan jiwa berat yang nyata seperti halusinasi atau delusi. Prof Zohar dan Prof Tang juga menekankan pentingnya diagnosis yang tepat dan kehati-hatian dalam menangani kasus-kasus orang tua terutama sekali dalam pemakaian beberap obat yang sebenarnya telah diberitahukan oleh badan obat dan makanan Amerika (FDA) mempunyai bahaya jika dipakai pada populasi khusus seperti pasien lanjut usia yang mengalami penyakit pikun (demensia).
Saya merasa beruntung bisa mengikuti seminar ini. Walaupun merupakan satu-satunya peserta dari Indonesia, saya tidak merasa kesepian karena panitia dan teman-teman psikiater dari Hongkong dan Filipina sangat hangat. Keaktifan para peserta juga dipuji oleh para pembicara dengan mengatakan bahwa kelompok kursus kali ini adalah yang terbaik dari yang pernah mereka ajar. Kursus ini merupakan suatu paket pertama dari suatu sistem belajar yang berkelanjutan. Ke depan akan ada kursus-kursus seperti ini yang diselenggarakan oleh Institute of Brain Medicine bekerja sama dengan masing-masing organisasi lokal. Siapa tahu nanti bisa diselenggarakan di Indonesia. Semoga saja. Salam Sehat Jiwa
13432206391143497878
Pemberian Sertifikat oleh Prof Tang pada akhir kursus tentang obat oleh Institute of Brain Medicine di Manila (dok pribadi 2012)

Rabu, 18 Juli 2012

Selamat Berpuasa

Semoga Amal Ibadah di Bulan Puasa ini diterima oleh Tuhan YME 

Salam Sehat Jiwa 
dr.Andri,SpKJ
Kepala Klinik Psikosomatik RS OMNI

Certificate Course in Neuro-psychopharmacology 2011



Kursus ini akan saya hadiri dalam masa cuti saya 23-25 Juli 2012 nanti.

Bagaimana Melawan "Psikosomatik"?


Oleh : Dr.Andri,SpKJ (Psikiater Keminatan Psikosomatik Medis)

Pasien dengan gangguan psikosomatik dan segala gejala fisik yang dialami mereka sering menanyakan kepada saya bagaimana melawan psikosomatik ini. Pasien merasa keluhan-keluhan fisik yang tidak jelas sumbernya ini sulit dilawan dengan apapun juga. Pikiran positif yang disarankan oleh banyak orang sering kali sulit diterapkan oleh pasien dan ini terkadang malah semakin membuat pasien merasa tertekan dan malah memperberat keluhannya.
Memang tidak mudah berpikir positif jika mengalami gangguan psikosomatik. Pasien sering kali mengeluhkan orang-orang di sekitarnya bahkan keluarga yang sepertinya tidak mampu mengerti apa yang dialami pasien. Jangankan orang awam, bahkan dokter sendiri pun banyak yang tidak memahami dan “menggampangkan” bahwa psikosomatik itu sebenarnya cukup dilawan dengan pikiran positif saja. Lalu mengapa sulit buat pasien berpikir positif atau santai seperti yang disarankan?

Otak Pabrik Utama
Otak adalah pabrik dari segala macam bentuk perasaan, pikiran dan perilaku manusia. Apa yang kita rasakan, kita lakukan dan kita pikirkan adalah hasil dari produksi otak. Keseimbangan dalam sistem otak ini perlu dijaga agar semuanya tetap dalam kondisi seimbang. Lalu bagaimana jadinya jika otak ini mengalami ketidakseimbangan? Maka bisa dipastikan produksinya pun kurang baik. Tidak heran jika gangguan jiwa yang merupakan hasil dari ketidakseimbangan otak akan membuat pikiran, perilaku dan perasaan orang menjadi tidak nyaman, mengarah tidak normal bahkan berbeda dari pada umumnya.
Kondisi ini yang membuat respon otak yang baik tidak tercapai. Bagaimana caranya membuat suatu “pikiran positif” jika otak yang memproduksi pikiran itu sedang dalam kondisi tidak baik? Tidak heran banyak pasien yang mengatakan ketika dia sedang mengalami kecemasan dan depresi, dia mengalami kesulitan untuk berdialog dengan Tuhan lewat doa dan sembahyang. Ada perasaan tidak nyaman yang dialami oleh pasien sehingga membuat dirinya tidak bisa “masuk” dalam kekhusukan dan doa.

Obati Otaknya
Maka jalan yang ditempuh untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang menyebabkan gangguan psikosomatik adalah memperbaiki sistem otak yang terlibat. Berbagai cara bisa dilakukan baik dari segi pemakaian obat psikofarmaka dan psikoterapi.
Pemakaian obat diperlukan untuk memperbaiki sistem otak yang sudah mengalami kendala dalam pekerjaannya. Fungsi dari obat adalah untuk memperbaiki dan menyeimbangkan sistem di otak tersebut. Setelah otak mulai seimbang maka terapi kognitif yang biasanya dilakukan pada proses psikoterapi dapat lebih mendapatkan tempat dalam alam pikiran dan perasaan pasien.
Banyak pasien yang bersikeras untuk tidak makan obat. Ada juga beberapa dokter yang tidak menyarankan penggunaan obat. Ketergantungan adalah salah satu yang ditakuti. Sebenarnya obat digunakan kepada pasien adalah untuk membuat tercapainya keseimbangan itu. Proses pemberian obat memfasilitasi perbaikan sehingga ketika sudah baik yang ditandai dengan gejala subyektif pasien yang merasakannya, maka obat bisa dikurangi bahkan dihentikan.
Terapi jenis lain yang sering disarankan adalah meditasi (mindfulness therapy). Hal ini biasanya dilakukan dengan memperhatikan dan berkonsentrasi pada jalan masuk keluar nafas. Terapi kombinasi antara obat dan psikoterapi termasuk meditasi adalah suatu cara yang mampu “melawan” psikosomatik.
Semoga bermanfaat, Salam Sehat Jiwa
13406871021548265276
Pada Acara Ulang Tahun Klinik Psikosomatik yang ke-3 (doc pribadi 2011)

Sabtu, 14 Juli 2012

Memilih Antidepresan Untuk Pasien

Oleh : dr.Andri,SpKJ (Psikiater Bidang Psikosomatik Medis)

Saya beberapa kali dalam praktek harus mengganti obat antidepresan yang digunakan karena pasien kurang responsif terhadap pengobatan yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan ketika batasan responsif terhadap terapi yang diberikan sudah dilewati, biasanya adalah dua bulan atau 8 minggu.
Pergantian antidepresan biasanya dilakuan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan yang signifikan atau terlihat dalam pemeriksaan klinis tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Sebenarnya hal ini merupakan hal yang biasa di dalam praktek sehari-hari. Kurang atau tidaknya responsif pasien terhadap suatu antidepresan tertentu bukan berarti menjadi terteutup harapan sembuh pasien dengan menggunakan antidepresan.

Memilih Antidepresan
Setelah diagnosis ditegakkan biasanya saya mulai memilih obat yang paling dianggap cocok untuk pasien yang saya hadapi. Pilihan antidepresan sangat beragam dari kelas dan jenis masing-masing kelas. Di dalam praktek sehari-hari beberapa kelas antidepresan yang sering digunakan adalah seperti di bawah ini
1. Antidepresan Golongan Trisiklik 
Contohnya adalah Amitripiline, Imipramine, Clomipramine
2. Antidepresan Golongan SSRI
Contohnya : Fluoxetine (Prozac), Sertraline (Zoloft), Paroxetine (Paxil), Fluvoxamine (Luvox), Escitalopram (Cipralex)
3. Antidepresan Golongan SNRI 
Contohnya : Duloxetine (Cymbalta), Venlafaxine (Efexor)
4. Antidepresan Golongan Agomelatine
Contohnya : Agomelatine (Valdoxan)

Pemilihan obat antidepresan berdasarkan diagnosis pasien dan pedoman tata laksana untuk gangguan tertentu yang sudah disepakati oleh para ahli di tingkat internasional atau nasional. Selain itu pemilihan obat juga lebih bersifat individual dalam artian setiap pasien mempunyai karakteristik yang berbeda yang membedakan juga pengobatannya.
Obat yang dipilih biasanya adalah obat yang mempunyai tolerabilitas atau kemampuan obat itu diterima oleh individu yang paling tinggi. Hal ini biasanya karena disebabkan penggunaan obat antidepresan yang cukup lama harus mendapatkan obat yang biasanya juga mempunyai tolerabilitas terhadap pasien yang lebih baik.
Selain itu sebenarnya yang paling penting adalah bahwa obat itu efektif terhadap pasien dan mampu menghilangkan gejalanya.

Pengobatan Tidak Berespon Baik
Ketika memutuskan untuk memulai pengobatan, pasien biasanya akan dilihat respon pengobatannya di awal-awal minggu pertama. Minggu pertama adalah masa "pengenalan" obat tersebut di otak dan tubuh pasien. Beberapa pasien mengalami efek samping karena pengenalan ini. Efek samping yang timbul biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa hari tanpa memerlukan penanganan khusus. Beberapa efek samping yang sering timbul misalnya keluhan lambung (maag),lebih cemas daripada biasanya, sulit tidur, mengantuk, kepala tegang dan mulut kering. Salah satu cara menguranginya adalah dengan memulai dosis lebih kecil di awal minggu pertama.
Jika sudah dilewati maka akan masuk ke minggu berikutnya di mana obat sudah mulai mencapai tahapan stabilisasi di otak tetapi belum berespon maksimal. Pada minggu kedua ada beberapa pasien yang sudah mulai merasakan perubahan dalam gangguan atau keluhan yang dialami tetapi ada juga pasien yang mengalami kondisi yang sama dengan sebelumnya. Hal ini masih dianggap sebagi suatu proses yang belum memerlukan penanganan khusus.
Memasuki minggu ketiga dan keempat obat antidepresan sudah mulai mencapai keseimbangan di dalam otak pasien. Pada minggu ketiga dan keempat ini biasanya keluhan sudah jauh lebih berkurang jika pasien cocok dengan obat-obatan yang diberikan. Namun demikian ada sebagian pasien yang merasa belum banyak perubahan berarti. Pada kondisi ini biasanya saya tetap meneruskan pengobatan dan memilih untuk tetap mempertahankan dosis terakhir.
Minggu kelima dan keenam adalah saat keseimbangan sudah mulai stabil dan biasanya pasien sudah hampir merasakan kesembuhan (remisi) yang baik. Jika respon pengobatan baik, pasien hampir merasa lupa akan gangguan yang dialaminya. Namun demikian ada juga pasien yang masih kadang mengalami gejala-gejala keluhannya tapi sangat minimal atau kalau pun ada misalnya perasaan kecemasan, masih bisa ditangani dengan baik oleh pasien. Pada minggu ini jika ada pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan maka biasanya kita memperhitungkan apakah akan mengganti obat atau akan meningkatkan dosis. Pilihan itu tentunya akan diperhitungkan dengan kondisi klinis, keluhan yang masih dialami dan preferensi pasien. Pada beberapa obat peningkatan dosis ada yang membuat efek sampingnya lebih banyak. Hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan sebelum melakukan keputusan berdasarkan hasil pengobatan sampai minggu keenam ini.

Memilih Obat Pengganti
Memilih obat pengganti tentunya perlu memperhatikan berbagai macam hal termasuk juga harga obat. Pasien biasanya yang pertama kali memakai antidepresan golongan SSRI bisa dicoba untuk ditingkatkan dosisnya terlebih dahulu lalu kemudian jika tidak ada respon atau pasien tidak tahan dengan efek samping akibat dosis yang besar maka obat bisa diganti ke golongan lain misalnya SNRI.

Pengobatan dengan antidepresan biasanya memakan waktu cukup lama antara 4-12 bulan tergantung kondisi pasien. Penggunaan obat antidepresan dalam jangka waktu tertentu ini untuk mencegah kekambuhan pasien. Inilah yang perlu dipahami oleh pasien. Pertanyaan pasien terkait apakah obat ini akan menimbulkan ketergantungan atau kesulitan dilepaskan adalah hal yang paling sering ditanyakan. Obat antidepresan memang tidak menimbulkan ketergantungan sehingga ada kata selesai memakai obat ini pada beberapa kasus yang sehari-hari didapatkan. EFeknya ke ginjal dan hati sebagai hal yang sering ditakutkan pasien juga sangat minimal untuk pasien yang kondisi ginjal dan hatinya baik. Bagi yang meminum alkohol atau mengalami gangguan fungsi hati (misalnya pada penderita Hepatitis) sebelum menggunakan obat antidepresan golongan tertentu perlu melakukan pemeriksaan yang lebih intensif.

Semoga informasi ini berguna

Salam Sehat Jiwa


Minggu, 01 Juli 2012

Obat Antidepresan dan Seluk Beluknya


Oleh : dr.Andri,SpKJ (Psikiater Keminatan Psikosomatik Medis)

Praktek sehari-hari saya kebanyakan menangani kasus-kasus gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Pasien dari dua jenis gangguan jiwa ini sangat sering mengeluh gejala-gejala fisik yang tidak didasari adanya bukti obyektik (Gejala Psikosomatik). Hal ini membuat ketika melakukan terapi maka saya akan mengedepankan menterapi diagnosis dasarnya seperti yang telah saya bahas pada tulisan-tulisan saya terdahulu tentang gangguan psikosomatik.
Pengobatan untuk gangguan cemas dan gangguan depresi tentunya perlu meliputi ketiga aspek yang mempengaruhi kejiwaan seseorang. Pendekatan biologis, psikologis dan sosial (termasuk spiritual) adalah hal yang tidak bisa dilepaskan pada pengobatan pasien-pasien tersebut. Apa yang akan saya bahas kali ini lebih kepada pengobatan dengan obat-obatan terutama antidepresan.

Efektifitas Obat
Ketika diagnosis sudah ditegakkan, maka sebagai dokter tentunya saya akan mengatur strategi pengobatan. Strategi pengobatan ini tentunya didasarkan pada rujukan pedoman pengobatan yang telah disetujui bersama oleh para ahli. Organisasi psikiatri baik di Indonesia maupun di luar negeri telah membuat pedoman-pedoman pengobatan untuk kasus-kasus psikiatri yang dihadapi sehari-hari.
Kali pertama yang terpikir oleh saya untuk meresepkan obat tertentu kepada pasien terutama untuk kasus gangguan cemas dan depresi adalah efektifitas obat tersebut. Obat Antidepresan golongan Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) dan Serotonin Norephineprine Reuptake Inhibitor (SNRI) adalah pilihan-pilihan obat yang digunakan untuk kasus depresi. Kedua golongan obat ini dipakai saat ini karena dinilai efektif untuk mengobati gangguan depresi.
Pasien dengan gangguan cemas juga mendapatkan manfaat dari pengobatan dengan golongan antidepresan. Selain efektif juga mempunyai profil obat yang lebih relatif aman dibandingkan dengan pengobatan menggunakan obat anticemas golongan benzodiazepine (obat penenang). Seperti kita tahu obat anticemas seperti Alprazolam, Lorazepam, Bromazepam, walaupun efektif mengatasi kecemasan sering kali menimbulkan permasalahan lain yaitu toleransi (dosis yang semakin meningkat) dan ketergantungan.

Tolerabilitas Obat
Selain efektif mengobati, pemilihan obat juga perlu melihat tolerabilitasnya atau kemampuan pasien dalam beradaptasi dengan obat itu. Kadang memang ada obat yang efektif tapi pasien tidak tahan dengan efek samping yang sering muncul akibat obat yang dia minum.
Antidepresan golongan SSRI atau SNRI seperti yang disebutkan di atas cukup mempunyai tolerabilitas yang baik. Pasien biasanya cukup nyaman dengan obat yang diberikan. Sering kali memang muncul efek samping obat pada awal penggunaan, biasanya berlangsung pada minggu pertama. Namun demikian efek samping ini hanya bersifat sementara dan sering kali bisa dilewati tanpa perlu menambahkan obat lain. Efek samping yang sering muncul pada obat yang bekerja di serotonin adalah gangguan perut atau maag, perasaan mengantuk, kadang bisa mengalami insomnia, sering merasa kepala berat atau pusing dan perasaan cemas. Untuk itu biasanya pada pasien diberikan dosis setengah dulu untuk pasien mampu lebih beradaptasi dengan obat ini.

Keamanan Obat
Kita memahami bahwa pasien dengan penggunaan antidepresan biasanya berlangsung lama. Pada berbagai literatur terbaru disarankan agar pasien tetap melanjutkan pengobatan walaupun sudah membaik sampai minimal 6 bulan sejak perbaikan gejala. Hal ini adalah agar keberulangan gejala tidak terjadi.
Untuk itu pemilihan obat selain tolerabilitas dan efektifitas, maka keamanan obat jika dipakai dalam jangka waktu panjang atau jika dipakai bersamaan dengan obat lain perlu diperhatikan. Pasien yang memakai obat antidepresan golongan SSRI atau SNRI masih bisa menggunakan obat lain misalnya obat flu, obat demam atau obat batuk yang sering takut digunakan. Kebanyakan peringatan di obat flu bahwa obat flu tidak boleh digunakan bersama antidepresan adalah obat antidepresan dari golongan Monoamine Inhibitor (MAOIs).

Farmakoekonomi
Jangan lupakan salah satu yang perlu diperhatikan juga tentang farmakoekonomi. Yaitu bagaimana pemilihan obat yang baik dan efektif juga perlu dibarengi dengan suatu upaya untuk memberikan obat yang secara ekonomis bisa terjangkau. Sering kali ini menjadi dilema karena pengobatan dengan obat-obat golongan terbaru seperti SSRI dan SNRI memang memerlukan biaya yang cukup besar. Walaupun demikian jika memandang dari segi cost and benefit mungkin penggunaan obat-obat antidepresan golongan SSRI dan SNRI masih bisa dianggap sebagai mampu memberikan perhitungan ekonomis yang masuk akal. Hal ini disebabkan karena perbaikan gejala depresi dan cemas yang baik dan didukung dengan kemampuan kerja secara ekonomis pasien-pasien yang mengalami depresi dan cemas, keuntungan secara ekonomis memakai obat ini bisa terpenuhi.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat. Salam Sehat Jiwa