Jumat, 28 Oktober 2011

Tersiksa Karena XANAX


oleh : dr.Andri,SpKJ
Sengaja saya menuliskan judul dengan salah satu merk dagang obat yang terkenal di dunia medis. Obat yang dipakai bukan hanya oleh psikiater tetapi juga lebih dari 80 persen peresepannya dilakukan oleh dokter umum dan dokter spesialis lain (Data WHO 2008). Kali ini saya ingin menceritakan tentang sejawat saya sendiri yang mengalami kondisi putus obat Xanax yang kandungannya adalah Alprazolam.
Pagi tadi ketika hendak bersiap-siap kerja, saya menerima BBM dari sejawat saya seorang dokter spesialis. Dia menanyakan bagaimana bisa lepas dari efek withdrawal atau putus zat dari Xanax. Ceritanya sudah sejak 40 hari ini dia makan obat ini yang disarankan oleh seorang Konsultan Dokter Jantung di salah satu RS terkenal. Lalu karena merasa takut, sejawat ini akhirnya melepaskan tiba-tiba obat tersebut dan selama 3 hari sejak putus obat ini, teman saya ini merasakan keluhan cemas yang menjadi-jadi kembali, lemas dan nyeri otot, perasaan seperti ada listrik di badan dan sulit tidur lagi. Lalu iseng-iseng dia melihat buku Farmakologi yang membuatnya kaget bahwa apa yang dia alami adalah akibat kondisi lepas obat golongan Alprazolam, zat yang terkandung dalam Xanax. Padahal dosis yang digunakan relatif tidak besar hanya 0.5 mg saja dan dimakan tiap malam.
Sebenarnya sejawat ini pernah menanyakan kepada saya bahwa belakangan ini dia sulit tidur dan merasa gangguan perut refluks yang dikenal dengan GERD. Saya sudah menyarankan untuk bertemu saya dan mulai pengobatannya tetapi kecenderungan teman ini merasa tidak nyaman di daerah jantung juga. Hal ini membuatnya berpikir bahwa lebih baik dia berkonsultasi ke dokter jantung. Keluhan jantung memang seringkali juga merupakan keluhan yang dialami pasien gangguan cemas, biasanya adalah keluhan jantung berdebar. Pada teman saya ini, debarannya begitu hebat sampai-sampai dia bisa terbangun dengan keringatan di tengah malam.
Balik kembali ke masalah putus obat-nya. Memang apa yang dia alami adalah suatu hal yang kita kenal di kalangan medis sebagai reaksi putus zat. Pemakaian alprazolam yang lama pada berbagai literatur memang meningkatkan potensi ketergantungan dan reaksi putus zat. Hal ini disebabkan karena waktu paruh alprazolam di dalam darah yang relatif cepat hilang. Artinya seringkali orang akan cenderung merasakan efeknya hilang  jika sudah lewat 4 jam pemakaian dan akhirnya mencoba memakan lagi. Salah satu sumber mengatakan pemakaian alprazolam lebih dari dua minggu pada sebagian besar orang yang punya kecenderungan tergantung zat akan membuatnya semakin sulit melepaskan diri dari alprazolam.
Kondisi di atas lah yang membuat walaupun efektif, alprazolam sudah sangat jarang saya  gunakan apalagi pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan zat seperti alkohol, sabu-sabu dan ectasy. Saya akan lebih memilih obat anticemas yang kerjanya panjang seperti clobazam (di kenal dengan merek dagang Frisium dan Clobazam generik) atau Clonazepam.
Semoga cerita di atas bisa menjadi bahan pembelajaran.
Salam Sehat Jiwa

Kamis, 13 Oktober 2011

Gangguan Psikosomatik : Gangguan Jiwa Paling Sering

oleh : Dr.Andri,SpKJ

Kemarin (13/10/2011) telah diadakan seminar untuk para dokter lulusan baru di FK UKRIDA dengan tema “Common Mental Health in Primary Care : Diagnosis and Treatment”. Pada kesempatan ini saya mengetengahkan presentasi tentang Gangguan Psikosomatik di Pelayanan Primer, Bagaimana Diagnosis dan Tatalaksana awalnya.
Topik ini saya angkat karena pada berbagai kepustakaan, keluhan psikosomatik merupakan keluhan yang paling banyak dialami oleh pasien-pasien yang datang ke pelayanan primer. Pasien yang datang ke dokter dengan keluhan fisik ternyata 19.7-22% mengalami gangguan somatisasi yang seringkali mengganggu pasien dan kualitas hidupnya.
Gangguan psikosomatik dalam bahasa kedokteran jiwa lebih dikenal dengan sebutan Gangguan Somatisasi sebagai bagian dari payung diagnosis Gangguan Somatoform. Gejala yang paling khas dari gangguan Somatisasi adalah banyaknya keluhan yang terjadi di berbagai organ terutama lambung, otot, dan paling sering mengalami keluhan nyeri. Gejala ini biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan untuk mendapatkan diagnosis tetap sebagai suatu Gangguan Somatisasi.Pasien dengan keluhan seperti ini biasanya akan berpindah-pindah dokter karena “penyakitnya” tidak sembuh-sembuh.
Namun ternyata pada prakteknya diagnosis Gangguan Somatisasi jarang bisa ditetapkan pada pasien dengan keluhan-keluhan psikosomatik. Kebanyakan keluhan psikosomatik-nya hanya beberapa saja atau hanya fokus di salah satu gejala seperti jantung berdebar, sesak napas dan tidak nyaman di daerah dada. Lain kali pasien ada yang mengeluh lebih banyak keluhan lambungnya daripada yang lain. Kasus-kasus seperti ini yang lebih banyak terlihat di Klinik daripada yang benar-benar sebagai gangguan somatisasi. Survey yang dilakukan di Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera kepada pasien-pasien yang datang dengan keluhan psikosomatik, ternyata lebih dari 50% di antaranya, diagnosis dasarnya adalah Gangguan Cemas Panik.
Untuk itulah peran dokter umum di pelayanan primer sangat penting dalam mendiagnosis keluhan-keluhan psikosomatik pada pasiennya. Pandangan seorang dokter terhadap pasien seharusnya menyeluruh dan berpikir dengan konsep biopsikososial. Pendekatan biospikososial ini yang akan melihat pasien secara menyeluruh bukan hanya keluhan fisiknya saja tetapi juga apakah keluhan itu terkait juga dengan jiwa dan lingkungan sosialnya. Pada dasarnya semua penyakit pasti memiliki pendekatan biospikososial karena manusia memang makhluk biopsikososial.
Pada akhirnya tujuan dari seminar ini adalah agar kemampuan dokter-dokter umum khususnya yang akan berpraktek nanti akan lebih terasah dalam mendiagnosis kondisi keluhan psikosomatik yang sebenarnya sangat sering didapatkan pada pasien-pasien yang datang ke pelayanan primer dengan keluhan fisik.

http://www.facebook.com/pages/Psikosomatik-Medis/239114322787902

Rabu, 12 Oktober 2011

Mengapa Perempuan (Indonesia) Lebih Mudah Depresi ?

Oleh : Dr.Andri,SpKJ
Psikiater

Selama menangani pasien-pasien dengan keluhan psikosomatik yang datang ke klinik saya, saya sering mendapati dasar diagnosis dari pasien-pasien dengan keluhan-keluhan fisik yang tidak jelas ini adalah gangguan cemas dan depresi. Hal lain yang saya amati adalah perempuan lebih sering mengalami depresi daripada cemas. Jika memang ada gejala cemasnya juga biasanya pasien mengalami keluhan-keluhan depresi yang lebih dominan.
Hal ini tentunya bukan hal yang baru di dunia psikiatri. Perempuan memang lebih sering mengalami depresi dibandingkan dengan pria menurut berbagai penelitian yang telah dibuat. Banyak faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal ini telah diungkapkan, namun rata-rata penelitian itu berbasis di komunitas negara-negara barat.
Saya mencoba menelaah dan memilah-milah sekiranya apa yang membuat perempuan Indonesia yang datang ke praktek lebih banyak mengalami depresi daripada gangguan kecemasan.
 
1. Hormonal
Sama seperti pada penelitian barat, perempuan Indonesia beberapa juga sangat terganggu dengan siklus hormonal bulanan yang sering juga berbarengan timbulnya dengan perubahan mood atau suasana perasaan yang tidak nyaman. Mereka biasanya mengalami kondisi tidak nyaman menjelang menstruasi dan selama menstruasi. Secara statistik memang perempuan di masa kehidupannya sejak fase pertama kali mens (menarche) sampai nanti setelah menopause akan cukup sering berkaitan dengan masalah mood terkait dengan fluktuatif hormonal.
 
2. Tuntutan Peran
Peran perempuan apalagi yang menikah sangat kompleks. Perempuan harus menjadi istri, ibu buat anaknya dan bahkan kadang "ibu" buat suaminya juga, juga seringkali menjadi orang yang diharapkan oleh keluarga perempuan untuk membantu. Kompleksitas peran ini membuat perempuan rentan stres. Apalagi jika ditambah dengan keinginan tetap mengaktualisasikaan diri yang malah seringkali terhambat. Penerimaan terhadap peran dan tuntutan di dalamnya yang bisa membantu perempuan mengatasi permasalahannya.
 
3. Konflik Rumah Tangga
Banyak kasus yang saya tangani terkait dengan konflik rumah tangga dan yang paling sering adalah perselingkuhan suami. Terkadang hal ini ditambah dengan sikap sebagian masyarakat di sekitar lingkungan perempuan itu yang "memaklumi" perselingkuhan suami. Ini semakin menjadi beban yang berat untuk perempuan yang merasa diperlakukan tidak adil.
 
4. Anak bermasalah
Anak seringkali menjadi pemicu stres orang tua terutama ibu. Perempuan dalam rumah tangga seringkali diberikan tugas lebih banyak dalam mengurus anak dan ini membuatnya seringkali lebih rentan terhadap stres terutama dalam  menghadapi anak-anaknya yang bermasalah. Peran suami dalam kondisi ini diharapkan dapat lebih membantu sehingga peran ibu menjadi lebih mudah.
Demikian sedikit hasil telaah saya terhadap kasus-kasus yang sering dialami perempuan yang mengalami depresi. Faktor-faktor lain mungkin saja terdapat dan mungkin menjadi faktor yang dominan buat masing-masing perempuan.
Berempatilah dengan perempuan Indonesia !
Salam Sehat Jiwa