Sabtu, 20 April 2019

"Diagnosis Gangguan Jiwa Tidak Bisa Tanpa Pemeriksaan Langsung"

oleh : Dokter Andri Psikiater

Selama menjelang #pilpres2019 dan #pilleg2019 yang dilangsungkan serentak tahun ini saya banyak mendapat pertanyaan baik dari kawan, sejawat dokter maupun wartawan terkait kemungkinan caleg gagal akan alami gangguan jiwa. Saya sendiri memandang fenomena tersebut sebagai sesuatu hal yang biasa. Jika memang benar ada caleg gagal yang mengalami gejala gangguan jiwa maka itu adalah hal yang wajar, suatu reaksi mekanisme pertahanan psikologis dari seorang manusia yang mengalami kegagalan. Gejalanya bisa gejala cemas seperti gelisah, merasa putus asa dan tidak ada harapan, sedih, marah-marah bahkan bisa sampai mengalami halusinasi dan delusi (biasa disebut sebagai kondisi psikotik). Gejala-gejala ini jika hanya berlangsung sementara tidak bisa disebut sebagai Gangguan Jiwa yang akan menetap. Ini adalah suatu reaksi stres akut atau suatu gangguan penyesuaian. Biasanya pasien yang mengalami gejala-gejala seperti ini bisa membaik dalam hitungan kurang dari dua minggu. Tentunya hal ini juga berkaitan dengan latar belakang psikologis dan bawaan genetik orang tersebut. Bisa saja kondisi ini mengarah ke kondisi Gangguan Jiwa lebih lanjut jika tidak membaik dalam waktu dua minggu dan akhirnya membuat kualitas hidup orang tersebut menurun.

Hal yang ingin saya sampaikan secara jelas adalah bahwa psikiater sebagai dokter yang menangani masalah kejiwaan tidak bisa mendiagnosis pasien hanya dari berita di media atau tampilan video di media sosial. Pemeriksaan untuk mendapatkan diagnosis gangguan jiwa harus dilakukan secara langsung, bukan berdasarkan rekaan atau asumsi dari psikiater tersebut. Konsekuensi dari diagnosis gangguan jiwa terhadap pasien itu tidak mudah. Mereka bisa mengalami stigma karena gangguan jiwa, sesuatu yang sering kali terjadi di Indonesia. Orang yang mengalami Gangguan Jiwa di Indonesia bisa disangka kurang imannya dan kurang bersyukur, padahal gangguan jiwa bisa terjadi pada siapa saja dan hal itu adalah wajar. 

Untuk itu saya menghimbau untuk teman-teman semua jangan mengira-ngira orang mengalami gangguan jiwa hanya karena melihat perilaku dan perkataannya di televisi atau media sosial. Ingatlah yang bisa mendiagnosis gangguan jiwa adalah dokter jiwa atau psikolog klinis karena hal ini akan berhubungan langsung dengan terapi itu sendiri. Jangan menambah stigma gangguan jiwa dengan hal-hal yang sifatnya melecehkan atau merendahkan orang dengan masalah kejiwaan atau dengan gejala gangguan jiwa. Semoga kita bisa memahaminya. Salam Sehat Jiwa (Dokter Andri Psikiater, twitter @mbahndi )