Rabu, 29 Juni 2011

Kapan Kita Perlu Ke Psikiater ?

oleh : Dr. Andri,SpKJ

Sering orang bertanya kepada saya lewat email maupun secara langsung kapan mereka butuh ke psikiater. Menjawab pertanyaan seperti ini saya biasanya sedikit menjelaskan dulu hal-hal yang berhubungan dengan praktek psikiatri dan apa saja kemampuan seorang psikiater. Setelah itu baru saya memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

1. Mengganggu Fungsi Pribadi

Kondisi gangguan jiwa adalah sekumpulan gejala dan tanda yang dialami pasien yang cocok dengan suatu diagnosis gangguan jiwa sesuai dengan pedoman diagnosis gangguan jiwa menurut WHO (ICD 10 atau edisi Indonesianya PPDGJ III dan DSM IV-TR). Disebut gangguan jiwa adalah ketika telah terjadi gangguan fungsi (hendaya/impairment) pribadinya. Misalnya karena kondisi gangguan jiwanya pasien jadi sulit beraktifitas sehari-hari, tidak bisa bekerja atau bersekolah dengan baik, dan mengalami gangguan-gangguan fungsi pribadi terkait dengan gangguan jiwanya misalnya menjadi sulit tidur, sulit menjaga emosi dan sulit mengatasi kondisi lingkungan dengan keadaannya sekarang.

2. Mengganggu Fungsi Sosial

Kondisi gangguan jiwa biasanya tidak hanya mengganggu fungsi pribadi tetapi juga fungsi sosial. Pasien bisanya juga sulit berinteraksi dengan orang lain dan seringkali kesulitan ikut aktif dalam kondisi sosial yang bermakna. Misalnya seorang yang menderita gangguan panik menjadi sulit untuk bepergian sendiri karena takut serangan paniknya muncul lagi saat sendiri, dia juga menjadi malas bertemu dengan orang lain (misalnya : klien atau rekan bisnis) karena merasa tidak nyaman jika berbicara terlalu lama dan sulit konsentrasi. Jika pasien mengalami depresi biasanya ada rasa enggan dan malas untuk beraktifitas sosial.

3. Berlangsung dalam waktu yang bermakna

Gangguan jiwa ada yang berlangsung secara singkat misalnya stres akut, reaksi berkabung, atau gangguan penyesuaian akibat penyakit medis yang diderita. Tetapi ada juga yang berlangsung lama. Gangguan depresi secara diagnosis baru bisa kita tetapkan diagnosisnya setelah gejala-gejala yang sesuai diagnosis berlangsung lebih dari dua minggu. Gejala depresi bisa berlangsung lama bila tanpa pengobatan yang tepat. Rata-rata pasien yang datang ke tempat saya bahkan sudah ada yang mengalami gejala gangguan jiwanya sejak beberapa bulan yang lalu bahkan ada yang sampai tahunan terutama pasien dengan gangguan psikosomatik.

Kapan Perlu Rawat Inap ?

Lalu kapan pasien memerlukan perawatan inap untuk gangguannya. Beberapa hal di bawah ini bisa menjadi patokannya.

a. Membahayakan diri sendiri

Pasien yang telah membahayakan diri sendiri seharusnya dirawat inap. Contohnya adalah pasien skizofrenia yang karena gejala halusinasi dan wahamnya melukai diri sendiri. Pasien depresi yang keinginan bunuh dirinya sangat kuat. Pasien skizofrenia yang tidak mau makan obat dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri termasuk makan dan merawat diri. Ini adalah beberapa hal yang perlu perawatan inap.

b. Membahayakan orang lain

Pasien yang karena gangguan jiwanya secara obyektif dilihat mempunyai potensi untuk melukai orang lain juga perlu dirawat. Ini tentunya memerlukan suatu penanganan yang serius dan adanya informasi yang baik terhadap keluarga agar tidak terjadi kesalapahaman.

Semoga informasi di atas membantu anda

Salam Sehat Jiwa

Http://psikosomatik-omni.blogspot.com

Minggu, 26 Juni 2011

Mengapa Kita Butuh Psikiater ?

Selama berkecimpung di Kompasiana sejak hampir setahun lewat, saya merasakan bahwa topik-topik kesehatan jiwa yang berkaitan dengan gangguan jiwa kurang diminati oleh pembaca. Topik-topik perselingkuhan dan seks ternyata lebih disukai sebagai salah satu topik kesehatan jiwa secara keseluruhan. Mungkin topik-topik ini lebih menarik minat dan komentar, atau mungkin juga topik gangguan jiwa dirasakan tidak perlu karena merasa sangat jauh dari hal tersebut. Saya ingin mengungkapkan beberapa data yang mungkin bisa membantu kita memahami mengapa kita butuh psikiater di kehidupan kita :

1. Prevalensi Gangguan Jiwa Tinggi Di Masyarakat

Prevalensi atau angka kejadian gangguan jiwa sebenarnya tinggi di masyarakat. Kasus-kasus "mainstream" gangguan jiwa seperti Skizofrenia adalah hal yang paling diingat oleh masyarakat jika berbicara tentang psikiater dan itu mengenai 1% populasi global atau sekitar 5% populasi di Indonesia. Lain lagi kalau kita bicara tentang Depresi dan Cemas yang prevalensinya sekitar 10-15% dari populasi global. Tidak heran pada tahun 2020 nanti WHO memperkirakan gangguan depresi menjadi beban penyakit nomor 2 setelah gangguan jantung dan pembuluh darah. Namun mengapa tidak semua mau berobat dengan baik ke psikiater ? Jawaban pertanyaan ini ada di tulisan saya sebelumnya "Apakah Kita Butuh Psikiater?"

2. Dewasa Muda Paling Banyak Mengalami Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa seperti skizofrenia saja lebih sering dialami oleh pasien-pasien usia muda antara 16-30 tahun. Bayangkan ini adalah masa produktif yang sangat baik. Orang yang mengalami gangguan jiwa pada fase ini akan sangat menurun kualitas hidup dan menjadi beban keluarga serta masyarakat. Survey yang dilakukan oleh saya dengan menggunakan internet menghasilkan bahwa pasien Gangguan Cemas Panik, salah satu Gangguan Cemas yang paling banyak diderita orang diderita oleh kebanyakan orang dengan rentang usia 30-35 tahun (38,5%). lainnya usia antara 20-25 tahun (23,1%) dan usia 26-30 tahun (21,2%). Anda tahu pasien gangguan cemas panik sulit melakukan performa yang baik di pekerjaan karena seringkali mengalami serangan panik dan menyebabkan dirinya tidak mampu bekerja dengan baik.

3. Bidang Ilmu Psikiatri Merambah Segala Segi Kehidupan

Sehari-hari bekerja sebagai praktisi kesehatan jiwa, tetapi dalam banyak kesempatan saya juga sering diajak berdiskusi untuk kepentingan pendidikan, keluarga dan anak serta ilmu kesehatan medis sesuai dengan bidang keminatan saya di psikosomatik medis. Selain itu juga dasar-dasar ilmu psikiatri bisa digunakan sebagai pegangan dalam menjawab berbagai masalah sosial. Sejak tahun 2006 saya sering menulis di Suara Pembaruan untuk mengamati kasus-kasus sosial di masyarakat dan menggunakan keilmuan saya menjawab serta menganalisis hal tersebut. Buku "Jangan Sebut Aku Gila, Bagaimana Memaknai Kehidupan" adalah salah satu buku pemikiran saya terhadap masalah-smasalah sosial yang timbul di masyarakat.

4. Semua Umur Bisa Mengalami Gangguan Jiwa

Perkembangan psikiatri yang pesat telah menghasilkan keilmuan psikiatri yang merambah semua umur. Ada Infant Psychiatry, suatu cabang ilmu psikiatri yang mempelajari anak usia 0-1 tahun, ada Child and Adolescent Psychiatry yang mempelajari ilmu psikiatri untuk anak dan remaja, ada Woman Psychiatry (Woman's Mental Health) yang memfokuskan pada masalah-masalah gangguan jiwa pada perempuan, ada Geriatric Psychiatry yang berhubungan dengan pasien-pasien lanjut usia. Inilah perkembangan psikiatri modern yang membuat semua usia bisa memilih untuk ke dokter yang paling tepat.

Paparan di atas adalah kenyataan yang ada. Jadi memang saat ini tinggal bagaimana kita menyikapi ini. Apakah jika kita mengalami gangguan kesehatan jiwa akan lebih diam dan melarikan diri sampai mengganggu kualitas hidup kita atau kita segera datang mencari pertolongan kepada para psikiater ?

Salam Sehat Jiwa

Sabtu, 25 Juni 2011

Apakah Kita Butuh Psikiater ?

Saya memilih menjadi psikiater bukan tanpa alasan. Ketika kebanyakan teman-teman seangkatan di FKUI lebih memilih menjadi spesialis anak, penyakit dalam, kandungan atau bedah, saya sudah memilih akan menjadi psikiater sejak masa kuliah tingkat dua. Hambatannya saat itu adalah kebingungan orang tua mengapa saya memilih menjadi psikiater yang lebih dikenal dengan sebutan dokternya orang gila.

Lalu kemudian setelah menjadi peserta program pendidikan spesialis saya kemudian memutuskan untuk mengambil sub bidang psikosomatik medis sebagai salah satu bidang psikiatri yang ingin saya perdalam. Hal ini tentunya juga bukan tanpa alasan.

Mari berhitung dengan statistik dan angka untuk memperjelas mengapa saya menjadi psikiater dan mengapa banyak di antara kita sebenarnya membutuhkan psikiater.

1. Jumlah Psikiater di Indonesia masih sedikit

Jumlah psikiater di Indonesia baru berkisar di antara 600an orang tapi tidak lebih dari 650. Data terakhir dikatakan yang terdaftar sebagai psikiater (artinya sudah lulus program pendidikan) adalah sekitar angka 600an. Ini sudah termasuk beberapa psikiater yang tidak praktek sebagai psikiater dan menjadi birokrat atau bekerja di struktural. Ini artinya bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang jumlah 250 juta jiwa, maka perbandingan psikiater dan penduduk Indonesia adalah 1 : 416.666. Jika sekitar 1% saja penduduk yang mengalami gangguan kejiwaan, maka ada sekitar 4.166 penduduk yang mengalami gangguan jiwa yang akan dilayani oleh seorang psikiater. Kelihatan sekali pangsa pasar yang besar bukan ? Itu hanya kalau menurut perhitungan kasar karena tentunya ada hal-hal lain yang lain.

2. Keluhan Psikosomatik Paling Banyak Dialami Pasien Dengan Gangguan Jiwa

Pertama yang harus diingat adalah gangguan jiwa itu bukan hanya Skizofrenia atau yang sering disebut Gila saja. Penelitian terakhir Dan Hidayat dkk dari FK UKRIDA mengatakan bahwa pengunjung puskesmas di salah satu kecamatan di Jakarta Barat, 28,5% adalah pasien dengan keluhan gangguan fisik yang sebenarnya didasari oleh gangguan cemas, depresi dan gangguan psikosomatik. Jadi kalau sebagai psikiater yang khusus bergerak di bidang ini, maka pangsa pasarnya akan lebih besar daripada jika hanya bergerak di bidang “mainstream” sebagai psikiater yang identik dengan penanganan kasus-kasus gangguan skizofrenia.

Mengapa Pasien Psikiatri Terkesan Sedikit ?

Pertanyaannya saat ini sekarang adalah, mengapa Psikiater dalam kehidupan sehari-hari di praktek-praktek swasta ataupun RS Umum terlihat pasiennya tidak banyak dan jauh dibandingkan pasien-pasien dari bidang spesialis lain? Padahal data di atas adalah data statistik yang diambil secara lokal maupun dari data WHO.

A. Stigma

Psikiater adalah profesi yang dipenuhi stigma. Tidak hanya di Indonesia bahkan di negara barat yang sudah lebih sadar kesehatan jiwa pun profesi psikiater erat dengan stigma. Stigma Gila (insane, crazy, wacko,mad) adalah hal-hal yang melekat pada diri psikiater. Hal ini membuat pasien yang membutuhkan bantuan psikiater menjadi enggan meminta bantuan. Orang yang ke psikiater dalam masyarakat seringkali diindetikan dengan orang yang lemah atau kurang iman, memalukan keluarga, tidak tahan penderitaan dan hal-hal stigmatis lain. Kondisi ini yang membuat walaupun butuh orang sering takut datang ke psikiater.

B. Tidak Ditanggung Asuransi

Sehat jiwa dan raga, itu kata slogan. Pada kenyataannya asuransi kesehatan tidak pernah mau menanggung kesehatan jiwa seseorang. Selain Jamsostek dan ASKES sosial, hampir semua asuransi swasta tidak menanggung pasien yang datang ke psikiater. Bahkan jika dalam perawatan di rumah sakit, pasien membutuhkan konsultasi psikiater, hal ini bisa berujung tidak ditanggungnya semua biaya perawatan di rumah sakit tersebut, penyebabnya sering dikira bahwa pasien adalah pasien gangguan jiwa dan tidak berhak ditanggung asuransi. Ini salah satu faktor yang membuat teman sejawat pun enggan mengkonsulkan pasien ke psikiater walaupun sangat perlu. Sebagai psikiater yang bergerak di bidang psikosomatik medis, saya mengetahui sekali kalau banyak penyakit medis umum yang dipengaruhi oleh kesehatan jiwa dan sebaliknya. penyakit seperti Diabetes Melitus (penyakit gula), Jantung, Maag (lambung), kulit adalah beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan kesehatan jiwa seseorang. Buruknya kesehatan jiwa dan tidak ditanganinya dengan baik akan membuat kondisi medis umumnya kurang baik hasil keluarannya.

C. Ketakutan Akan Efek Obat

Psikiater sering diidentikan bahkan oleh sejawatnya sendiri sebagai dokter yang ahli memberikan obat-obatan penenang yang dimasukkan dalam golongan obat benzodiazepine (alprazolam, diazepam, lorazepam, estazolam, nitrazepam dll) . Dalam berbagai tulisan saya selalu menekankan bahwa pemberian obat ini bukan tentunya tanpa alasan jelas. Tidak dipungkiri memang ada segelintir dokter psikiater yang sedikit berlebihan memberikan obat penenang tetapi data di WHO mengatakan bahwa 80% peresepan obat-obat penenang dilakukan oleh dokter umum dan dokter spesialis non psikiater. Di praktek sehari-hari pun saya sering mendapatkan kasus-kasus ketergantungan obat penenang akibat salah diresepkan oleh dokter non-psikiater yang tidak mengerti mekanisme obat ini. Obat di dalam praktek psikiatri tentunya diberikan berdasarkan keperluan. Ingat selain obat ada teknik psikoterapi juga yang biasanya mengikuti penatalaksanaan.

Demikian sedikit ulasan saya tentang mengapa psikiater dan pasien psikiatri tidak seperti data yang berbicara.

Salam Sehat Jiwa

Kamis, 23 Juni 2011

Tersiksa Karena Sulit Berpikir Positif

Yth. Dokter Andri, saya mau bertanya, apakah saya perlu penangan secara medis untuk masalah kejiwaan yang sedang saya hadapi. Saya sangat sulit berpikir positif terhadap segala hal, sering paranoid dan lebih suka menyendiri. Saya sering merasa tidak nyaman berada di keramaian sekalipun itu di tempat yang penuh kehangatan.

Pada saat saya punya pasangan (pacar) saya sangat posesif self control saya sangat kurang, sehingga saya sering curiga yang berlebihan terhadap pasangan. Kondisi paranoid dan curiga ini akan semakin parah dan tidak bisa saya kontrol ketika menjelang haid (PMS) atau beberapa hari setelahnya. Sehingga masalah kecil bisa saya buat menjadi besar, dan tidak bisa mengontrol kata-kata yang keluar. Akan tetapi, dalam hitungan menit saya akan sadar kembali dan saya menyadari apa yang saya lakukan itu salah.

Saya sangat tersiksa sekali dengan kondisi seperti ini dan semakin lama kepercayaan diri jadi berkurang. Tolong bantu saya Dokter, jika perlu penanganan secara medis, mohon referensinya. Terima kasih.

(SISCA, 30, BOGOR)

JAWAB :

Sisca yang baik,

Apa yang terjadi pada diri Sisca sebenarnya perlu diperjelas kembali. Apa yang dimaksud dengan paranoid ? Apakah yang dimaksud adalah ketakutan kalau ada orang yang berbuat jahat terhadap Sisca atau kecurigaan berlebihan atau hanya merasa ketakutan yang ada pemicunya (biasanya faktor lingkungan).

Terkadang terminologi "Paranoid" banyak disalahartikan oleh orang sehingga definisi aslinya menjadi rancu. Kalau kecurigaannya tidak berdasar tapi Sisca yakin bahwa memang itu kenyataannya, hati-hati apakah ini suatu bentuk keyakinan salah yang kita sebut waham. Tetapi jika melihat bahwa masih ada tilikan (kesadaran diri) terhadap keadaan ini mungkin yang dialami tidak separah itu. Tentang lebih suka menyendiri, apakah penyebab itu lebih disukai oleh Sisca ?

Apakah karena rasa nyaman atau perasaan takut bergaul dengan orang lain yang didasari kurang percaya diri. Jika dihubungkan dengan perilaku posesif Sisca terhadap pasangan, apakah ini juga merupakan bagian dari kekurang percayaan Sisca terhadap orang lain yang sebenarnya didasari oleh kurangnya percaya diri dalam diri Sisca.

Pada beberapa wanita masa menjelang menstruasi memang sangat tidak nyaman. Ada yang mengalami Sindrom Pre-Menstruasi tapi ada juga yang sampai mengalami Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) suatu kondisi ketidaknyamanan terutama mood pada masa menjelang menstruasi.

Gejalanya :

1. Mood depresi yang jelas, merasa tiada harapan atau pikiran-pikiran buruk

2. Cemas, tegang, merasa sulit berpikir

3. Labil, menjadi murah sedih, menangis dan meningkat sensitifitasnya terhadap penolakan

4. Marah yang terus menerus, iritabilitas, peningkatan konflik interpersonal

5. Penurunan minat terhadap aktifitas yang biasa (kerja,sekolah, sosial, hobi)

6. Perasaan subyektif sulit berkonsentrasi

7. Mudah lelah, lesu, tidak bertenaga

8. Perubahan nafsu makan, terlalu banyak makan atau “mengidam” makanan tertentu

9. Terlalu banyak tidur atau Insomnia

10. Merasa banyak beban dan sulit mengkontrol diri

11. Gejala fisik seperti sakit kepala, payudara menjadi keras, nyeri otot dan sendiri, mual atau bertambah berat badan

Untuk didiagnosis sebagai PMDD maka perlu ada 5 gejala di atas dengan salah satu gejala tersebut adalah gejala nomor 1,2,3,atau 4.

Pada banyak penelitian kondisi ini sangat menggangu dan tidak nyaman sekali sehingga mengganggu kualitas hidup. Pengobatan baik secara terapi kognitif dan dengan obat terutama golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor) pada beberapa penelitian sangat membantu.

Kebetulan juga saya mempunyai beberapa pasien wanita dengan kondisi seperti ini. Jadi mungkin ada baiknya juga buat Sisca untuk berkonsultasi ke dokter ahli jiwa atau psikiater di kota anda.

Semoga membantu

Salam Sehat Jiwa

sumber : http://health.kompas.com/read/2011/06/21/10224047/Tersiksa.karena.Sulit.Berpikir.Positif

Selasa, 21 Juni 2011

PMIG FK UKRIDA session 6

Psychosomatic Medicine Interest Group (PMIG) American Psychosomatic Society (APS) FK UKRIDA session 6, Friday, June 24th, 2011 at 11 am, Class 607, FK UKRIDA. Theme "Psychiatric Features of Traumatic Brain Injury". Open For all FK UKRIDA students. Please message me in my inbox to confirm your presence. Thank you

Terapi Kognitif dan Perilaku Untuk Gangguan Panik

Pada kesempatan ini saya ingin sedikit mengulas tentang keperluannya kita berlatih untuk mengubah pola kognitif atau pikiran kita yang salah terhadap sesuatu hal. Salah satu contoh yang akan saya sampaikan adalah pada pasien dengan gangguan panik yang merasa takut untuk pergi ke luar rumah.

Dalam kasus gangguan panik seringkali pasien dipenuhi kecemasan untuk keluar rumah sendirian atau menyetir mobil sendirian. Hal ini dikarenakan pasien trauma ketika sedang berada sendirian serangan paniknya akan datang dan membuatnya tidak berdaya. Kecemasan seperti ini dalam terminologi gangguan jiwa disbeuat sebagai kecemasan antisipasi. Pasien seperti ini biasanya menghindari untuk keluar rumah sendiri, dia biasanya takut untuk melakukan hal-hal sendiri di luar rumah atau bahkan di tinggal di rumah sendiripun takut. Tentunya kecemasan seperti ini akan membuat kualitas hidupnya berkurang. Bagaimana penanganan pasien seperti ini ?

A. Diagnosis Yang Tepat

Diagnosis yang tepat sangat diperlukan dalam kondisi ini. Pasien datang biasanya dengan keluhan-keluhan fisik jantung dan sistem perut (maag) yang membuatnya tidak nyaman. Keluhan-keluhan fisik memang sering merupakan gejala yang paling menonjol dari pasien gangguan panik. Ketepatan diagnosis akan membawa kita ke pengobatan dan tatalaksana yang tepat untuk pasien

B. Tatalaksana Dengan Obat

Obat dalam menangani kasus-kasus gangguan panik sangat membantu. Pada tahap akut mungkin diperlukan pengobatan dengan obat golongan benzodiazepin (penenang) namun biasanya ada juga pasien yang setelah diedukasi dengan baik tentang penyakitnya mampu mengatasi sendiri kondisi paniknya tanpa obat penenang. Terapi lini pertama gangguan panik adalah dengan menggunakan antidepresan golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor) seperti Sertraline, Escitalopram, Paroxetine, Fluoxetine. Obat ini digunakan dalam jangka waktu tertentu biasanya sekitar 3-6 bulan. Selain golongan SSRI bisa juga dengan menggunakan golongan Antidepresan Trisiklik walaupun saat ini sudah banyak ditinggalkan

C. Tatalaksana Kognitif

Tatalaksana kognitif adalah dengan mengubah atau men-dispute pikiran-pikiran negatif terkait gangguan panik. Pikiran otomatis pada pasien gangguan panik sangat sering terjadi. Pasien merasa dirinya akan mengalami hal-hal buruk di luar jika sendiri dan itu langsung keluar dari pikirannya terkadang tanpa pemicu yang jelas. Dalam hal ini maka terapi Cognitive behavior therapy (CBT) sangat diperlukan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut

C.1. Kenali Kondisi Yang Memicu (A : Activating Event)

Kondisi yang memicu ini biasanya adalah bila keluar rumah, di ruangan terbuka seperti stasiun atau mall atau di tempat-tempat yang sesak (bahkan bisa tempat ibadah). Membuat pasien mengenali kondisi-kondisi ini akan membantu kita untuk memberikan terapi kognitif pada pasien.

C.2. Kepercayaan salah diubah (B : Belief)

Kepercayaan yang salah bahwa jika pasien berada di tempat-tempat itu akan memicu gangguan paniknya, maka akan membuat pasien merasa tidak berdaya. Pada fase ini seharusnya didahului dulu oleh menghilangnya gejala-gejala serangan panik di minggu-minggu awal pengobatan. Pengobatan yang tepat akan membuat serangan-serangan panik berkurang atau tidak sama sekali. Kondisi ini yang akan membuat pasien lebih nyaman dan yakin bahwa dirinya akan lebih baik. Kondisi yang menuju kebaikan ini juga akan menggoyahkan kepercayaan pasien yang salah bahwa jika berada di tempat-tempat tertentu dia bisa mengalami serangan panik. Intinya ketika pengobatan tepat, maka di manapun pasien berada dia tidak akan mengalami panik lagi.

C.3. Konsekuensi (C : Consequences)

Konsekuensi dari hal-hal yang dipercaya pasien bisa memicu paniknya pada dasarnya akan menghambat pasien dalam kehidupannya. Maka dari itu pengenalan A, B dan akhirnya C membuat pasien lebih sadar bahwa ada kosnekuensi dari kepercayaan yang salah dan membuatnya tidak nyaman. Pengenalan konsekuensi ini akan membuat pasien merasa harus lebih segera keluar dari kondisi paniknya, berusaha dengan baik dan akhirnya bisa mengatasi kondisi itu sendiri nanti.

Ketiga langkah di atas biasanya akan dibicarakan pada saat konsultasi dengan pasien gangguan panik. Dasar pemikiran itu juga berlaku pada pasien dengan gangguan depresi dan beberapa gangguan jiwa lainnya.

Semoga sedikit pengenalan ini berguna.

Salam Sehat Jiwa

Dr.Andri,SpKJ

Psikiater Psikosomatik Medis

Sabtu, 18 Juni 2011

Keinginan Bunuh Diri Itu Muncul Lagi (Konsultasi Kompas.com bersama Dr.Andri,SpKJ)

Kira-kira 2 tahun lalu saya dirawat seorang psikiater. Hanya beberapa kali saya mengikuti terapi, saya memutuskan untuk menghentikannya. Akhir-akhir ini, pikiran saya kembali lagi seperti dulu. Setiap saya dihadapkan pada suatu masalah dan saya tertekan, seringkali saya berpikir untuk mengakhiri hidup saya.

Bahkan saya selalu merencanakan tiap detil tindakan bunuh diri tersebut (ex: cara,waktu dan tempat), setiap kali keinginan itu muncul. Selain itu, yang lain yang saya keluhkan adalah kemarahan saya yang meledak-ledak, susah tidur, gelisah tanpa sebab, migrain berkepanjangan. Apa yang harus saya lakukan dok?

(Rini, 25, Surabaya)

JAWAB :

Rini yang baik,

Sayangnya Rini tidak menyebutkan diagnosis terakhir yang dikatakan oleh psikiater Rini dan obat apa saja yang diberikan. Kalau yang Rini katakan saat ini hanya merasa tertekan setiap dihadapkan pada masalah lalu berpikir untuk bunuh diri maka kondisi ini tidak terlalu pas sebenarnya jika dikatakan mengarah ke depresi berat, walaupun ada pikiran untuk bunuh diri dengan caranya yang jelas.

Pertanyaan yang mungkin masih perlu diklarifikasi adalah apakah rasa tertekan ini dialami setiap hari dan setiap saat tanpa adanya pemicu yang jelas atau hanya saat ada masalah saja ? Kalau jika setiap saat dan tanpa pemicu yang jelas maka kemungkinan ke arah diagnosis depresi masih memungkinkan. Namun jika tidak maka kemungkinan ke arah Gangguan Penyesuaian.

Namun jika melihat keluhan Rini selanjutnya, di mana ada kemarahan yang meledak-ledak, gelisah tanpa sebab dan sulit tidur, maka kemungkinan Rini bisa saja mengalami apa yang dinamakan gangguan kestabilan mood dikaitkan dengan gejala depresinya. Dahulu keadaaan seperti ini biasanya disebut sebagai Depresi Agitatif (Depresi namun dengan gejala-gejala agresifitas, kemarahan dan kegelisahan berat).

Ada baiknya Rini kembali berkonsultasi dengan psikiater yang dulu pernah merawat Rini, ini untuk memudahkan proses kelanjutan pengobatan karena beliau yang sudah pernah merawat sehingga mengetahui perkembangan gangguan yang dialami Rini sejak awal. Semoga jawaban ini bisa membantu.

Salam Sehat Jiwa !

Kamis, 16 Juni 2011

Bisakah Hipnoterapi Kurangi Beban (Konsultasi Dr Andri,SpKJ di KOMPAS.com)

TANYA :

Dok, saya ingin sekali di-hipnoterapi karena begitu banyak rahasia yang saya simpan sendiri dan saya takut untuk mengungkapkannya kepada orang- orang yang saya kenal. Bisakah hipnoterapi membuat saya terhindar dari beban itu, seperti saya sudah mengatakannya kepada masing-masing orang yang berhak mengetahuinya?

(RANI, 20, JAKARTA)

JAWAB :

Rani yang Baik,

Hipnoterapi dalam ilmu kedokteran jiwa atau psikiatri adalah bagian dari Psikoterapi. Hipnoterapi adalah salah satu pilihan psikoterapi selain dengan terapi kognitif dan perilaku, terapi interpersonal, psikoanalisis, terapi kelompok dan macam-macam lainnya. Hipnoterapi tidak selalu dilakukan untuk setiap orang, namun dilakukan jika pada pemeriksaan dengan menggunakan wawancara psikiatrik ditemukan bahwa pasien atau klien ini cocok dengan penggunaan hipnoterapi.

Orang yang melakukan hipnoterapi pun sepatutnya menguasai teknik-teknik psikoterapi dasar, ilmu diagnosis gangguan jiwa,ilmu perilaku manusia dan kesehatan jiwa. Hal ini agar hipnoterapi yang dilakukan bukanlah hanya sekedar merelaksasikan pikiran atau menambah input-input positif tanpa tahu dasar diagnosis pasien/klien.

Satu hal yang perlu diingat dan ini yang sering disalahpahami adalah bahwa Hipnoterapi bukanlah cara instan untuk melepaskan diri dari masalah di pikiran kita. Ini bukanlah cara instan yang bisa menjawab semua keadaan yang dialami oleh pikiran orang yang mengalami masalah. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui.

Jadi, bila Rani menginginkan hipnoterapi sebagai suatu cara untuk menghilangkan beban akibat rahasia-rahasia yang disimpan sepertinya konsep hipnoterapi yang dipahami Rani kurang tepat.

Dalam kondisi Rani, mungkin hipnoterapi bisa membantu Rani untuk lebih berani mengungkapkan rahasia kepada orang yang Rani anggap memang bisa memahami apa yang dialami Rani. Jadi ingat, sekali lagi bahwa hipnoterapi dalam hal ini bukan bersifat pasif dan bekerja sendiri, tapi memerlukan juga bantuan dari pasien/klien itu sendiri. Semoga jawaban ini bisa membantu.

Salam Sehat Jiwa.

Jumat, 10 Juni 2011

Gangguan Perilaku Pasca Trauma Kepala

Trauma kepala merupakan kondisi medis yang menjadi perhatian saat ini. Tingginya angka kecelakaan kendaraan bermotor terutama roda dua menyumbang angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Hal ini disebabkan karena efeknya yang menimbulkan kerugian bagi kualitas hidup pasien yang mengalaminya di kemudian hari. Data di Amerika mengatakan 5,3 juta penduduknya menderita karena gangguan yang diakibatkan trauma kepala dan dana kesehatan yang dikeluarkan berkaitan dengan kondisi ini adalah sekitar 60 milyar dollar Amerika .

Kasus klasik yang dialami oleh Phineas Gage (1823-1860) yang berubah perilaku dan emosinya setelah kecelakaan kerja merupakan penemuan awal tentang hubungan antara trauma kepala dengan gangguan perilaku yang terjadi sesudahnya. Walaupun pengetahuan tentang trauma kepala terus berkembang namun penanganan kondisi neuropsikiatrik akibat trauma kepala masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Kondisi neuropsikiatrik terbukti menghambat proses rehabilitasi pasien dan kemampuannya untuk kembali ke kehidupan sosial. Hambatan sosial ini berhubungan dengan ketidakmampuan memenuhi peran di dalam kehidupan bermasyarakat dan membina hubungan dengan orang lain.

Depresi merupakan gangguan psikiatrik yang paling sering berhubungan dengan trauma kepala. Kondisi ini timbul hampir pada 14-29% pasien yang mengalami trauma kepala. Beberapa literatur lain bahkan mengatakan persentase kejadian depresi pada pasien trauma kepala mencapai 40%. Kondisi ini tentunya perlu mendapatkan perhatian karena menimbulkan beban yang berat bagi kondisi kehidupan sehari-hari pasien dan keluarganya.

Untuk itulah pada Pertemuan Ilmiah Dua Tahunan (PIDT) Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) di Bandung 2-5 Juli 2011 nanti saya akan berbicara khusus masalah ini pada sesi simposium Consultation Liaison Psychiatry Update. Tentunya akan lebih menarik jika diikutsertakan juga sebuah kasus yang terjadi pada praktek sehari-hari untuk lebih menjelaskan hal ini, sehingga pada kesempatan ini pula saya akan mempresentasikan sebuah kasus gangguan perilaku akibat trauma kepala yang disebabkan oleh kecelakaan bermotor.

Nantikan laporan berikutnya.

Salam Sehat Jiwa

13071011821797262947



Kamis, 09 Juni 2011

Tips Membedakan Cemas,Depresi, Psikotik

Sejak aktif di KAskus, Kompasiana dan Blogspot (http://psikosomatik-omni.blogspot.com) serta menjadi konsultan di Kompas.com saya sering menerima pertanyaan-pertanyaan via email atau Facebook yang bertanya tentang diagnosis gangguan jiwa yang diderita oleh orang atau saudara dari orang yang mengirim email. Ada juga yang menanyakan opini kedua untuk pasien-pasien yang ternyata sudah memiliki psikiater.
Sebisa mungkin pertanyaan tersebut akan saya jawab tentunya dengan tetap memegang etika kedokteran terutama pada kasus-kasus pasien yang sudah ditangani dan sedang ditangani oleh psikiater lain. Hal ini untuk mencegah bias dan pertentangan dalam pendapat. Apalagi saya sendiri tidak memeriksa langsung pasien-pasien yang bertanya tentang kondisi sakitnya.

Pemeriksaan Langsung
Salah satu alasan mengapa seorang pasien harus bertemu langsung dengan dokter jiwa alias psikiater untuk diperiksa adalah karena terkadang kalau hanya dari tulisan saja di email atau sms, sulit buat psikiater menjawab pertanyaan tersebut dan menentukan diagnosis yang baik.
Penampilan pasien, cara bicara verbal, sikap saat diperiksa adalah hal-hal yang tidak tergambar dalam bahasa tulisan. Inilah mengapa keperluan pemeriksaan langsung adalah mutlak.

Tips Singkat
Terkadang dalam ceramah awam atau seminar dokter buat dokter umum saya suka memberikan tips bagaimana mengenali gejala gangguan jiwa di praktek sehari-hari. Sangat dangkal tetapi lumayan berguna untuk pasien dan dokter di garis depan.
Tipsnya adalah sebagai berikut.

A. Pasien CEMAS
Pasien yang mengeluh keluhan cemas biasanya mengatakan TAKUT. Banyak macam takutnya, TAKUT MATI, TAKUT GILA, TAKUT SAKIT dan takut-takut lainnya. Cemas yang paling diderita adalah gangguan cemas panik sehingga biasanya keluhannya berhubungan dengan sistem otak dan otonom seperti Jantung Berdebar, Sesak Napas, Rasa ingin muntah, buang-buang air jika stres, keluar keringat dingin, bibir kering dan rasa seperti melayang. Keluhan-keluhan ini biasanya jarang dialami oleh pasien dengan gangguan depresi yang nyata.
Pengalaman klinis mengatakan pasien cemas lebih sering mengeluhkan keluhan fisiknya daripada keluhan perasaannya

B. Pasien DEPRESI
Pasien dengan keluhan depresi apalagi yang berat biasanya mengeluh INGIN MATI. Pasien merasa tidak berdaya, tidak ada gairah hidup dan merasa semuanya hampa. Pada beberapa pasien yang masih ada gejala kecemasannya seringkali tercampur dengan gejala yang lain di atas. Itu yang kita namakan Mixed Anxiety Depression. Keluhan fisik masih kadang terjadi terutama adalah keluhan lesu dan letih berlebihan serta sulit mempertahankan tidur. Terkadang pada beberapa pasien ada ditemukan ciri psikotik pada pasien depresi.

C. Pasien PSIKOTIK

Pasien psikotik biasanya ditandai dengan keluhan HALUSINASI yang jelas dan WAHAM yang jelas. Halusinasi adalah gangguan persepsi baik auditorik maupun visual yang biasanya disebabkan karena proses di otak. Biasanya pasien mendengar bisikan atau melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain.
Waham adalah keyakinan yang salah tentang sesuatu yang dipertahankan walaupun sudah diberikan bukti-bukti yang mendukung bahwa hal tersebut tidak benar. Misalnya yang paling sering adalah Waham Paranoid, pasien merasa dia dicurigai atau ada orang yang mau berbuat jahat terhadap pasien. Pada pasien Psikotik keyakinan ini dipertahankan dengan kukuh walaupun sudah diberikan bukti-bukti yang mengatakan lain.

Demikian sekilas tips membedakan berbagai macam keluhan gangguan jiwa.
Sangat dangkal sehingga memerlukan pemeriksaan oleh ahli lebih lanjut apalagi pada kasus-kasus yang terkadang bias.

Salam sehat Jiwa

Kamis, 02 Juni 2011

Merasa Puas dan Makna Kognitif Dibaliknya

Kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin hari semakin banyak. Pasca Reformasi yang telah bergulir 13 tahun tidak menyurutkan langkah para koruptor, malahan jenis korupsi dan gayanya semakin beragam. Semuanya seperti berlomba-lomba untuk terus menerus mengeruk uang negara yang dianggap oleh para koruptor adalah uang halal yang boleh diambil sesukanya jika ada kesempatan.

Apakah koruptor-koruptor ini tidak kaya materi dalam kehidupan sehari-harinya, tentu saja kalau ditanyakan kepada mereka jawabannya mungkin bahwa mereka belum kaya. Tapi pada kenyataannya mereka sebenarnya hidupnya sudah berkecukupan apalagi jika dibandingkan dengan warga masyarakat Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan. Lalu mengapa masih merasa kurang cukup dan merasa masih perlu korupsi, apakah ini pertanda kerakusan dan rasa tidak puas ?

Merasa Puas

Dalam praktek sehari-hari sebagai seorang Psikiater saya banyak menemukan orang-orang yang tidak merasa puas dengan kehidupannya. Ketidakpuasan ini tergambar dalam kondisi fisik maupun mental. Secara fisik mereka merasa kurang cantik, kurang tinggi jabatannya, kurang banyak harta dan kekurangan materi lain. Secara mental mereka merasa kurang pintar, kurang bisa bergaul, kurang bisa melakukan hal-hal yang berguna dan banyak kekurangan non-materi lain.

Padahal bila saya lihat secara obyektif, pasien ini sebenarnya mempunyai banyak kelebihan namun sayangnya kelebihan ini tertutup oleh perasaan kekurangan yang dilebih-lebihkan. Kalau saja dalam diri kita terdapat 99 persen kebaikan dan 1 persen kekurangan, maka jika kita hanya melihat yang 1 persen lalu kemudian membesar-besarkannya maka yang terlihat dalam persepsi kita adalah yang 1 persen ini. Punya 99 persen kebaikan akan menjadi percuma jika kita tidak melihatnya. Seperti mempunyai intan berlian tapi tidak tahu itu apa.

Proses Kognitif

Salah satu tugas seorang psikiater dalam proses terapi adalah memperlihatkan secara obyektif keadaan ini. Lewat proses terapi kognitif keadaan ini akan menjadi terlihat lebih nyata dan diharapkan mampu mengubah persepsi yang salah pada diri pasien. Proses terapi kognitif diawali dengan pengenalan terhadap masalah dan memperlihatkannya kepada pasien dengan cara yang obyektif. Lewat proses wawancara terstruktur persepsi-persepsi salah yang dimiliki pasien kemudian diuraikan dan di”counter” dengan kenyataan obyektif yang ada.

Tentunya proses ini tidak berlangsung singkat. Seperti orang yang belajar hal yang baru, maka latihan dan keinginan untuk berubah adalah modal yang paling baik untuk mampu menjalani terapi ini dengan baik. Kerjasama antara psikiater dengan pasien yang dilandasi dengan empati dan saling percaya sangat penting. Pasien juga harus mau untuk membantu dirinya sendiri mengubah persepsi yang salah tentang dirinya. Usaha ini memerlukan usaha dan energi yang besar karena pada dasarnya manusia seringkali tidak mau berubah untuk hal yang baik sekalipun.

Semuanya di Tangan Kita

Semua perubahan di tangan kita. Saya tekankan lagi bahwa proses perubahan ada di tangan kita sendiri. Tidak ada orang yang bisa menyerahkan proses ini kepada siapapun juga. Jika anda ingin berubah maka pertama niatkanlah dan lihat apa yang ingin kita ubah. Fokus dan selalu kembali kepada niat kita jika tampak kita mulai kehilangan arah. Niscaya lama kelamaan proses ini akan menjadi nyata hasilnya. Kembali kepada masalah koruptor di atas, kalau sang calon koruptor atau koruptor ini merasa memang tidak ada yang salah dalam dirinya, artinya memang akan sulit mengubah perilakunya dan pikirannya. Apapun yang dikatakan orang, itu tidak akan berguna.

Lalu kita bisa berbuat apa kalau demikian ? Berdiam diri atau ada usul untuk melakukan sesuatu ?

Salam Sehat Jiwa