Kamis, 31 Januari 2019

Ancaman Depresi Yang Kita Abaikan


Kita mungkin tidak menyadari bahwa masalah medis yang berat di tahun 2020 salah satunya adalah Depresi. Gangguan Jiwa ini akan menempati nomor dua dari penyakit yang membebani secara global di dunia ini. 
Depresi adalah penyakit umum di seluruh dunia, dengan lebih dari 300 juta orang terkena dampaknya. Depresi adalah gangguan medis. Depresi berbeda dari fluktuasi suasana hati yang biasa dan respons emosional jangka pendek terhadap tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam artian sempit depresi bukan kesedihan biasa. 
Depresi didiagnosis setelah gejala dan tanda utama depresi seperti suasana perasaan hati yang menurun (mood yang sedih), perasaan putus asa dan hilang harapan, serta ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan berlangsung setiap hari selama lebih dari 2 minggu. Depresi dapat menjadi kondisi kesehatan yang serius apalagi jika dibarengi kondisi medis umum lainnya seperti gangguan jantung, gangguan endokrin seperti kencing manis dan penyakit tiroid, serta gangguan jantung dan gangguan saraf.  Depresi  dapat menyebabkan orang yang menderitanya mengalami kualitas hidup yang menurun dan berfungsi buruk di tempat kerja, di sekolah dan di keluarga. Yang terburuk, depresi dapat menyebabkan bunuh diri. Data WHO mengatakan hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun. Bunuh diri sendiri adalah penyebab utama kematian kedua pada usia 15-29 tahun.
Akses Terhadap Terapi 
Walaupun terapi untuk pasien depresi telah diketahui dari lebih 30 tahun yang lalu, sampai saat ini kurang dari setengah pasien yang mengalami depresi menerima perawatan depresi yang benar. Indonesia saja dalam Riset Kesehatan Dasar 2018 yang baru saja dirilis, orang yang mengalami depresi di populasi kita berkisar di 6,1% dengan hanya 9% dari orang yang mengalami depresi tersebut mendapatkan pengobatan depresi. Hal ini tidak mengherankan karena di banyak negara lain juga angka statistiknya sama. 
Hambatan untuk perawatan depresi yang efektif termasuk kurangnya sumber daya, kurangnya penyedia layanan kesehatan yang terlatih, dan stigma sosial yang terkait dengan gangguan jiwa. Hambatan lain untuk perawatan yang efektif adalah penilaian yang tidak akutidak terdeteksinya depresi . Data WHO mengatakan di negara-negara dari semua tingkat pendapatan, orang-orang yang mengalami depresi seringkali tidak terdiagnosis dengan benar, malahan orang lain yang tidak memiliki gangguan depresi terlalu sering salah didiagnosis dan diresepkan antidepresan.

Beban depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya meningkat secara global. Resolusi WHO yang disahkan pada Mei 2013 telah menyerukan respons komprehensif dan terkoordinasi terhadap gangguan mental di tingkat negara. Sayangnya tidak semua negara mampu mengejewantahkan resolusi ini . 
Apa Yang Bisa Dilakukan
WHO pernah menyerukan kampanye untuk mengatasi masalah depresi di Hari Kesehatan Sedunia tahun 2017 dengan mengusung tema "Depression : Let's Talk". Kampanye ini menyerukan kepada semua orang yang merasa memiliki gejala depresi untuk mau membicarakan mengenai masalahnya tersebut. Dalam kampanye ini juga dihimbau untuk orang-orang untuk lebih memahami pasien yang mengalami depresi dan tidak menghakiminya dan memberikan saran terlalu dini bahwa semua kondisi perasaan tersebut pasti akan segera berlalu. 
Stigma berkaitan dengan gangguan jiwa terutama depresi masih menjadi masalah di banyak negara termasuk Indonesia. Pasien depresi sering disalahartikan hanya mencari perhatian atau "baperan". Kita tentu mengetahui adanya orang-orang yang memang demikian namun depresi berbeda. Depresi adalah kondisi medis yang memerlukan bantuan. Kesedihan yang terus menerus selama lebih dari dua minggu adalah satu tanda awal untuk mengenali depresi di sekitar kita. Jika kita lebih sadar dengan keadaan ini tentunya akan jauh lebih baik untuk kita memahami orang yang mengalami depresi. Sayangnya kita sering kali terlalu mudah menyimpulkan kondisi yang seolah-olah kita pahami tersebut. 
Menjadi pendengar yang baik adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Kita cukup mendengar saja. Tidak memberikan nasehat yang terlalu cepat atau bahkan bersikap menyalahkan atau menghakimi. Cukup dengarkan saja karena dengan mendengarkan saja itu sangat membantu orang yang mengalami depresi. Orang yang mengalami depresi sering kali merasa lebih ringan bebannya hanya dengan bercerita saja tanpa perlu diberikan nasehat terlalu dini . Sayangnya pula sering kali kita kesulitan menjadi pendengar yang baik dan lebih senang mendengarkan suara kita sendiri. Sikap yang menghakimi sering kali menghambat proses pengenalan depresi di lingkungan terdekat kita. Saat orang yang depresi mau bercerita namun mendapatkan tanggapan yang tidak enak, maka dia akan berhenti bercerita dan menyimpan semuanya sendiri sampai akhir hayatnya yang kadang dia jemput sendiri. 
Semoga tulisan ini bisa membantu kita sama-sama memahami tentang ancaman depresi. Saya, anda dan kita semua bisa mengalami depresi. Kenali gejala depresi dan mulailah menjadi pendengar yang baik untuk orang-orang yang membutuhkan kita. Salam Sehat Jiwa