Rabu, 26 Februari 2014

Sakit Lambung Terkait Gangguan Psikosomatik

Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Psychosomatic Medicine Specialist)
Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera, Tangerang

Belakangan ini sejak seringnya saya menulis tentang kasus-kasus psikosomatik yang terkait dengan gangguan lambung, banyak pasien yang mengalami gangguan lambung menahun yang datang ke Klinik Psikosomatik RS OMNI. Beberapa di antaranya akan saya ilustrasikan dalam kasus di bawah ini.

Kasus 1.
Pasien usia 40 tahun, datang dengan keluhan nyeri, perih lambung dan kembung yang dominan terjadi setiap hari sudah sejak setahun yang lalu. Pasien mengatakan hal ini membuatnya pantang berbagai jenis makanan dan lebih banyak makan hanya dengan bubur kecap atau nasi tim. Lebih jauh ketika ditanyakan tentang pengobatan pasien sudah berobat ke berbagai spesialis penyakit dalam terutama yang spesialisasi saluran cerna.

Endoskopi sudah dilakukan namun tidak ada masalah berarti, H.Pylori tidak ditemukan. USG Abdomen dan pemeriksaan penunjang laboratorium telah dilakukan dan tidak juga ditemukan hal yang bermasalah. Pasien diberikan obat PPI (Proton pump inhibitor) yang biasanya diberikan kepada pasien dengan gangguan seperti ini dan juga diberikan Domperidone serta sukralfat. Hasilnya tidak banyak membantu. Pasien akhirnya disarankan oleh salah satu dokternya ke psikiater karena dianggap mengalami psikosomatik. Sebelum bertemu saya di klinik pasien sudah pernah sebelumnya juga ke psikiater tetapi tidak mendapatkan perbaikan setelah diobati selama sebulan. Saat itu obat yang diberikan berupa obat anticemas yang dicampur dengan dosis kecil antipsikotik.

Setelah saya lihat gejala dan tanda pada pasien, pasien lebih jauh mengatakan bahwa selain masalah lambung juga sering disertai dengan perasaan cemas yang berkaitan dengan jantung berdebar. Perasaan cemas ini biasanya dipicu oleh rasa tidak nyaman di lambung dan akhirnya menimbulkan jantung berdebar. Di luar masalah lambungnya, pasien tidak mengalami jantung berdebar tanpa pemicu. 

Pengobatan kepada pasien akhirnya dipilih untuk menstabilkan sistem saraf otonom di otak dan juga terutama terkait dengan sistem saraf enteric yang berkaitan dengan lambung. Pengobatan ini biasanya tidak lagi melibatkan obat-obatan untuk lambung kecuali jika diperlukan domperidone. Biasanya penggunaan dosis kecil antidepresan yang tepat dapat membantu kasus seperti ini. Setelah satu bulan pengobatan pasien merasa keluhannya sudah semakin menghilang. Perih kembung sudah tidak ada lagi. Pasien sudah bisa makan biasa tanpa harus memilih-milih.

Kasus 2.
Pasien seorang laki-laki usia 28 tahun dengan keluhan jantung berdebar-debar, sering sesak nafas dan merasa kembung tiba-tiba seperti ingin muntah. Hal tersebut terjadi tiba-tiba tanpa sebab atau pemicu. Pasien juga mengatakan sering merasa pusing dan seperti bergoyang jika kejadian itu datang. Gejala ini sering berulang dan membuat pasien sering bolak balik ke IGD karena khawatir merasa sakit jantung yang berat. Pasien jika di IGD dikatakan baik-baik saja setelah mengalami pemeriksaan lengkap. Beberapa dokter di IGD mengatakan hanya asam lambung saja naik dan diberikan obat lambung sejenis PPI. Sayangnya keluhan itu tidak mereda walau sudah makan obat yang disarankan. Kondisi ini adalah kondisi klasik untuk suatu Gangguan Cemas Panik. Pengobatan hal ini sudah beberapa kali saya bahas dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya. Saya hanya ingin menekankan bahwa pada kondisi ini pun ada masalah dengan lambung.

Lambung Punya Otak Sendiri
Dalam ilmu kedokteran khususnya bidang Psikosomatik Medis, dipercaya bahwa lambung mempunyai otaknya sendiri yang sering disebut Enteric Nervous System. Sistem saraf ini juga diatur oleh neurotransmitter yang sama seperti yang terdapat di susunan saraf pusat di otak. Saling mempengaruhi antara lambung dan otak banyak kita temukan pada beberapa kasus dispepsia fungsional, suatu kondisi gangguan lambung yang tidak didasari oleh adanya kelainan organ lambung itu sendiri. Sistem saraf enteric ini terdapat di esophagus, lambung, usus kecil dan kolon sehingga keluhan lambung terkait dengan sistem ini bisa mengenai keempat bagian organ lambung tersebut.

Karena didasari dan mempunyai neurotransmitter yang sama seperti di susunan saraf pusat jugalah yang membuat pengobatan kasus-kasus dispepsia fungsional atau masalah lambung terkait dengan sistem saraf enteric biasanya menggunakan obat-obatan yang juga bekerja di susunan saraf pusat. Penggunaannya namun sering kali agak berbeda tergantung diagnosis dasarnya.

Pada kasus pertama misalnya gejala lambung lebih mendominasi dan menjadi pemicu untuk gejala lainnya. Sedangkan pada kasus kedua gejala lambung merupakan gejala yang terkait dengan gejala lain pada pasien gangguan cemas panik.

Jika melihat dasar dari kondisi sepert ini maka tidak salah jika pasien yang mengalami gangguan lambung dan sudah berobat ke dokter spesialis penyakit dalam saluran cerna namun tidak mengalami perbaikan, bisa berkonsultasi ke psikiater yang memahami masalah lambung ini sebagai masalah terkait dengan aktifitas sistem saraf di tubuh.
Semoga tulisan ini membantu memahami. Salam Sehat Jiwa
13934138591436760378
The Brain in Your Gut (pic taken from http://kin450-neurophysiology.wikispaces.com/Enteric+Nervous+System)

Minggu, 23 Februari 2014

Perlunya Tampil di Televisi

Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Psychosomatic Medicine Specialist)
Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera, Tangerang

Semalam (23 Feb 2014) saya baru saja tampil kembali di acara Apa Kata Dokter di JakTV. Topik malam tadi adalah tentang Bagaimana Mengenali Depresi dan Pengobatannya yang dikaitkan dengan tema Pemilu yang akan dijelang khususnya tentang pribadi calegnya.
Bagi saya tampil di televisi bertujuan untuk memberikan informasi khususnya bagi pemirsa yang jarang membuka internet sehingga informasi tentang gangguan psikosomatik juga dapat didapatkan oleh mereka. Walaupun temanya belum tentu selalu berkaitan dengan psikosomatik tetapi sering kali saya tambahkan dalam setiap wawancara aspek psikosomatik dari suatu kondisi kejiwaan dan fisik seseorang.
Semoga ada kesempatan-kesempatan lain yang bisa saya gunakan terus untuk menyebarkan informasi tentang psikosomatik. Salam Sehat Jiwa



Rabu, 19 Februari 2014

Tumpang Tindih Gejala Kecemasan

oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Psychosomatic Medicine Specialist)
Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera

Sejak memfokuskan diri praktek psikiatri yang menangani kasus-kasus psikosomatik sejak lebih 5 tahun yang lalu saya dalam keseharian lebih banyak bertemu dengan kasus-kasus pasien gangguan kecemasan atau depresi yang mempunyai ciri keluhan fisik yang menonjol. Beberapa di antaranya bahkan mengatakan tidak mengalami masalah berkaitan dengan keluhan psikologis atau psikis dan lebih mengedepankan gejala fisik atau somatik.

Kali ini saya akan membahas lebih jauh tentang tumpang tindih gejala kecemasan pada pasien yang didiagnosis mengalami gangguan kecemasan. Hal ini disebabkan karena banyak pasien yang sering merasa bingung dengan diagnosis gangguan kejiwaannya dan berusaha untuk mencari lebih jauh dengan membuka berbagai situs di internet. Daripada bingung ada baiknya anda membaca ulasan singkat ini.

Cemas Atau Takut ?
Sebenarnya ada perbedaan mendasar ketika kita berbicara tentang suatu kondisi yang disebut Cemas. Cemas adalah ketakutan yang tidak didasari oleh adanya sumber ketakutan yang jelas. Pada berbagai buku dikatakan bahwa kecemasan lebih bersifat irasional sedangkan takut bersifat rasional karena objek yang ditakutinya ada. Beberapa orang yang mengalami kecemasan mungkin tidak setuju karena banyak pasien saya yang mengatakan bahwa mereka cemas akan sesuatu misalnya sakit atau menderita penyakit berat. Pada hakekatnya hal ini lebih disebut takut. Namun ketika kondisi ketakutan tersebut bersifat irasional karena si pasien tersebut tidak mampu menjelaskan bagaimana perasaan takut tersebut, maka kecemasan lebih cocok disematkan pada kondisi demikian.

Satu yang menarik dalam praktek ketika berhadapan dengan kasus kecemasan adalah bahwa banyak pasien yang mengatakan bahwa kecemasannya tersebut tidak beralasan, datang sendiri tiba-tiba dan sulit dialihkan. Ada pasien yang mengeluh bahwa tiba-tiba dia merasakan rasa takut yang luar biasa yang dia sendiri sulit menjelaskan takutnya pada apa. Hal ini lebih cocok disebut sebagai suatu kecemasan daripada ketakutan.

Takut Penyakit Berat
Pasien gangguan kecemasan dengan gejala fisik atau somatik lebih sering mengeluh dirinya mengalami ketakutan akan menderita sakit berat. Tidak heran pasien biasanya berulang kali memeriksakan dirinya karena keluhan-keluhan fisik yang timbul dan dirasakan pasien. Padahal kondisi ini kebanyakan tidak didasari oleh adanya masalah fisik. Ketakutan akan menderita sakit ini yang banyak dialami oleh pasien gangguan kecemasan tipe panik dan tipe menyeluruh.

Kebanyakan pasien yang mengeluh takut menderita sakit berat biasanya mengalami gangguan fisik yang dimanifestasikan dalam gejala fisik berkaitan dengan fungsi saraf otonom. Tidak heran keluhannya biasanya berkisar antara lambung, paru dan jantung. Rasa sensasi tidak nyaman di organ-organ tersebut sering kali memicu ketakutan yang lebih besar dan pikiran otomatis yang mengarah ke ketakutan akan menderita penyakit yang lebih berat.

Obsesif Kompulsif
Walaupun dalam kasus-kasus pasien yang mengalami gejala fisik seperti gangguan kecemasan panik dan menyeluruh berbeda dengan gangguan cemas obsesif kompulsif, namun pasien gangguan cemas panik dan gangguan cemas menyeluruh sering kali juga mempunyai karakter seperti pasien obsesif kompulsif. Pikiran yang berulang akan kecemasan tentang sesuatu hal yang buruk terjadi sering diungkapkan pasien. Perilaku kompulsif untuk memeriksakan diri juga merupakan karakter obsesif kompulsif yang sering dikeluhkan pasien.

Pasien gangguan kecemasan sendiri sering kali memang mempunyai dasar kepribadian obsesif kompulsif. Orang-orang perfeksionis, persisten dan konsisten serta sulit menerima kenyataan yang tidak diharapkan sering kali lebih mudah mengalami gangguan kecemasan daripada orang lain. Hal ini seperti menjadi karakter dasar pasien-pasien yang mengalami gangguan kecemasan.

Kenali Diri
Proses pengobatan selalu melibatkan faktor psikologis dan biologis agar mendapatkan perbaikan. Obat bisa digunakan sebagai fasilitator untuk mencapai keadaaan kestabilan sistem saraf otak agar mampu mengembangkan sifat positif di dalam diri. Pasien juga perlu menyadari dan mengakui adanya masalah kejiwaan yang terjadi pada dirinya. Menyangkal hal tersebut malah akan mempersulit pengobatan karena akan menghambat perbaikan gejala secara psikologis.

Pasien bisa disaranakan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi diri dengan belajar cara-cara baru dalam beradaptasi dengan lingkungan yang sering kali dianggap sebagai pemicu stres. Pada pasien yang aktif dan mempunyai kemampuan belajar yang baik, maka hal ini bisa didapatkan dari buku-buku dan proses psikoterapi yang mencerahkan pasien. Obat akan memfasilitasi kondisi tersebut karena kenyamanan terutama perbaikan gejala-gejala fisik pada pasien cemas biasanya akan mempermudah pasien gangguan kecemasan untuk berpikir positif.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa

Minggu, 16 Februari 2014

Tidak Menikmati Hobi Lagi? Hati-hati Depresi !

Tidak Menikmati Hobi Lagi? Hati-hati Depresi !
Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine)

Belum seminggu saya pulang dari Paris untuk mengikuti International Summit Meeting in Depression. Saya bersama salah satu rekan dari Indonesia bersama-sama dengan para psikiater dari berbagai negara Eropa mengikuti acara yang berlangsung dua hari ini di Hotel Le Meridien,Etoile, Paris. Kunjungan ke Eropa untuk melakukan seminar kali ini adalah kunjungan pertama saya karena selama ini saya lebih rutin ke Amerika Serikat untuk memperbarui pengetahuan saya khususnya di bidang Psikosomatik Medis.

Satu hal yang menarik yang mungkin bisa saya ceritakan kepada pembaca di sini adalah tentang gejala yang biasanya muncul dan dialami oleh pasien-pasien di Eropa dibandingkan mungkin di Amerika Serikat. Hal ini terungkap dalam pemaparan kasus-kasus Depresi yang didiskusikan pada saat acara summit meeting ini.

Anhedonia

Gejala Anhedonia atau ketidakmampuan menikmati sesuatu hal yang awalnya dinikmati adalah salah satu gejala yang sering diungkapkan pada pemaparan kasus-kasus depresi di acara summit ini. Beberapa psikiater yang mengungkapkan kasus-kasus pasien mereka menekankan anhedonia sebagai salah satu gejala yang penting yang dianggap menjadi salah satu faktor penentu juga keberhasilan terapi.

Hal ini agak sedikit berbeda dengan apa yang saya dengar dan dapatkan dari kasus-kasus yang biasanya diungkapkan psikiater-psikiater di Amerika Serikat tentang pasien-pasiennya. Ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu karena kelelahan adalah salah satu gejala depresi yang paling sering dikaitkan dengan kasus-kasus depresi yang dialami oleh orang Amerika Serikat. Tentunya gejala Anhedonia juga terdapat namun tidak menjadi fokus karena bagi mereka yang menjadikan sulit adalah ketika seseorang tidak mempunyai tenaga untuk melakukan aktifitas kerja sehari-hari. Ketidakmampuan menikmati hobi bukan menjadi salah satu faktor yang penting. Yang penting adalah bisa bekerja dan mempunyai tenaga untuk itu.

Beda Sudut Pandang

Saya hanya mencoba untuk menganalisis bagaimana penekanan untuk satu kondisi gangguan jiwa bisa bermakna berbeda dalam segi penekanan gejala. Betul memang harus dipahami bahwa walaupun diagnosisnya sama misalnya Gangguan Depresi Mayor, gejala yang dialami pasien bisa berbeda. Secara klasik keluhan depresi yang utama adalah Mood atau suasana perasaan yang menurun, hilangnya minat atau rasa putus asa dan psikomotor yang menurun. Kalau dilihat dari gejala yang dikeluhkan maka ketiga gejala klasik tersebut biasanya terdapat pada pasien depresi hanya saja mungkin penekanan gejala mana yang menonjol itu juga terkait individu masing-masing.

Saya menjadi berpikir apakah karena karakter budaya dan latar belakang sehingga orang Eropa lebih mengutamakan gejala Anhedonia dan orang Amerika lebih mengutamakan gejala psikomotor atau yang terkait dengan kelelahan dan ketidakmampuan bekerja. Memang jika dilihat suasana di Eropa dalam hal ini Paris agak sedikit berbeda dengan suasana di Amerika. Paris terlihat lebih santai. Jamuan makan malam pun lebih formal dan lama, banyak diisi oleh ngobrol-ngobrol. Sedangkan ketika di Amerika Serikat, semuanya agak lebih cepat dan makan buat sesuatu yang bisa untuk berlama-lama.

Tapi tentu ini belum bisa menyimpulkan karena saya baru melihat satu kota di Eropa sedangkan masih banyak pula yang belum dieksplorasi. Namun demikian penekanan gejala yang berbeda di kedua benua ini membuat kita semakin menyadari bahwa hubungan kultural dan latar belakang suatu masyarakat tersebut akan berhubungan juga dengan karakter gejala yang ditampilkan dalam diri pasien-pasien yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya perlu juga untuk mengadakan penelitian terkait hal ini yang tentunya didapatkan dari kasus-kasus yang ada dalam praktek sehari-hari. Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa
13923467581294509335
Salah satu icon kota Paris saat ini (dok.pribadi)
1392346900386689618
Bersama dr.Marga Maramis,SpKJ, psikiater dari Surabaya yang juga menjadi peserta acara Summit Meeting di Paris (dok.pribadi)