Selasa, 14 Juli 2009

Mengatakan Maaf Bukan Hal Yang Tabu

Dahulu kala ketika saya masih kecil, rasanya dokter adalah manusia yang sangat luar biasa kuasanya. Jarang sekali kita dapat kesempatan memprotes dokter atas segala tindakannya. Begitu juga kita rela menunggu dokter berlama-lama karena beliau sedang sibuk di tempat kerja yang lain. Tapi mungkin saat ini keadaan ini sudah berubah walaupun beberapa dokter masih mempertahankan kekuasaan absolutnya terutama dalam hal manajemen waktu.
Teringat pengalaman mengantar kakak saya ke dokter, ketika itu kami sudah mendapatkan janji ketemu dengan dokter tersebut jam 15 namun apa mau dikata sampai jam 16.30 si dokter belum datang juga. Saya kemudian bertanya kepada suster di poli tersebut, ternyata si dokter belum dapat datang karena masih ada pasien di tempat lain. Padahal waktu praktek yang tercantum di RS yang saya datangi tersebut menunjukkan bahwa jam poli si DOkter dimulai pukul 15 sampai 17.
Ketika akhirnya si Dokter datang pukul 17.00, tanpa basa basi dan permintaan maaf si dokter langsung saja memulai pemeriksaan pada kakak saya yang telah menunggu lama. Waw...rasanya saat itu saya mau marah saja tapi tak kuasa karena saya tahu ini adalah sejawat saya sendiri.
Lain lagi pengalaman teman saya yang anaknya dirawat di RS. Seharusnya si anak sudah boleh pulang sejak pagi hari namun karena sebelum pulang harus diperiksa oleh dokter penanggung jawab, akhirnya dia harus menunggu. Tanpa tahu ternyata si dokter baru bisa datang sekitar sore hari dan dia baru mengetahuinya setelah menunggu beberapa jam tanpa ada informasi. Saya tidak tahu apakah si DOkter ini meminta maaf atas keterlambatan ini namun mudah-mudahan beliau lakukan.
Saya juga bukan orang yang luput dari keterlambatan. Pernah suatu ketika karena saking "asyiknya" menguji, waktu praktek saya ternyata sudah mendekati dan akhirnya pasien saya menunggu sampai setengah jam. Namun sebelum itu terjadi saya biasanya mempunyai kebiasaan untuk menelpon atau meng-sms pasien sejam sebelum waktu praktek saya kalau saya akan datang telat. Intinya saya tidak ingin pasien tersebut kehilangan waktu hanya untuk menunggu saya saja.
Lain waktu saya pernah terlambat lima menit dari jadwal yang telah ditentukan, saya ternyata sudah ditunggu pasien. Saya pun minta maaf atas ketidaknyamanan ini. Lain waktu saya pernah datang lima menit sebelum waktu praktek saya, tetapi ternyata pasien saya datang lebih awal lagi. Saya pun tetap meminta maaf karena membuat pasien menunggu, namun saya jelaskan bahwa saya memang baru memulai praktek sesuai jadwal.
Intinya bagi saya permintaan maaf kepada pasien bukanlah hal yang tabu dan bisa dilakukan oleh semua dokter. Seperti pesan saya kepada mahasiswa, bahwa seharusnya kita berempati kepada pasien bukan hanya karena dia pasien kita tetapi juga berempati sebagai sesama orang yang sama-sama mempunyai waktu 24 jam dalam hidupnya.
Saya pun sampai saat ini masih belajar untuk selalu menetapi waktu dan berusaha juga untuk selalu konsisten dengan keadaan ini. Terkadang berat karena sesuatu yang sering tidak terduga, namun kerendahan hati untuk meminta maaf atas keterlambatan bisa menjadi penyejuk hati orang yang menunggu kita. Tapi ingat, jangan gampang mengucapkan maaf untuk suatu alasan atas ketidakmampuan kita mengubah perilaku kita. Misalnya terus menerus minta maaf atas keterlambatan tanpa bisa mengubah kondisi terlambat itu sendiri dan sepertinya membiarkan karena berpikir mudah meminta maaf. Itu malah akan menjatuhkan harga diri kita sendiri dan menunjukan kepada orang lain secara gamblang bahwa kita orang yang tidak disiplin.

Fakultas Kedokteran Masih Diminati

Setiap hasil SNMPTN alias Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Ternyata peminat Fakultas Kedokteran masih menempati tempat teratas dibandingkan dengan ilmu studi lain. Bidang lain yang diminati selain Kedokteran adalah Teknik Informatika, Farmasi dan Desain Grafis.
Tentunya sangat menarik melihat hal ini, di tengah-tengah besarnya biaya pendidikan kedokteran yang semakin tinggi karena tuntutan fasilitas, fakultas kedokteran masih menjadi favorit calon mahasiswa negeri.
Saya menjadi ingat akan diri saya sendiri beberapa tahun yang lalu. Di masa akhir sekolah menengah atas saya baru menentukan pilihan saya untuk menjadi seorang dokter. Itupun kalau saya diterima di Fakultas Negeri karena keuangan yang tidak memungkinkan bila harus masuk swasta.
Saya berpikiran saat itu lebih baik tidak menjadi dokter bila harus kuliah di Swasta yang uang masuknya saja berpuluh juta. Untuk itu pilihan saya jatuh ke Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro.
Beruntung sekali saya dapat diterima di FKUI sehingga mimpi menjadi dokter rasanya akan menjadi kenyataan.
Saya masih merasakan murahnya pendidikan dokter, walaupun memnag bila dibandingkan dengan beberap tahun sebelum saya, masih lebih mahal biaya yang ditanggung angkatan saya saat itu (1997). Tapi saya tidak mengeluarkan uang sampai lima juta untuk masuk FKUI saat itu.
Lepas pendidikan dokter umum membuat saya berpikir untuk segera meneruskan pendidikan Spesialis di FKUI juga dan mengambil bidang Kedokteran Jiwa. Saat itu saya berpikir menjadi dokter umum itu tidaklah keren dan kurang gengsinya dibandingkan dengan dokter spesialis.

Dokter Pasti Kaya?
Rasanya pendapat di atas sering ditunjukkan kepada dokter. Selain memiliki posisi terhormat di masyarakat terutama di daerah-daerah yang masih kurang dokternya, profesi ini juga menjamin orang yang menggelutinya tidak akan kekurangan bila mau berusaha. Sama sepertinya kiat ini buat semua jurusan, tapi independensi seorang dokter membuat dia lebih tidak tergantung orang lain untuk mendapatkan nafkah.
Guru saya pernah berkata, sebenarnya menjadi dokter itu tidak akan pernah bisa terlalu kaya bila mengikuti aturan yang berlaku. Sebab menurut beliau kalau dokter kaya itu biasanya akan dikompensasikan dengan banyaknya waktu yang harus dialokasikan untuk praktek saja.
Kenyataannya memang banyak dokter-dokter senior yang bisa praktek sampai dini hari karena tidak mampu menolak pasien. Ini sangat berbeda dengan beberapa negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura yang membatasi jumlah pasien yang bisa ditangani oleh seorang dokter.
Hal inilah yang sering dikeluhkan pasien kalau dokter Indonesia kurang komunikatif karena selalu terburu-buru. Tentu saja akan terburu-buru karena kalau tidak pasien akan tidak terlayani dan si dokter tidak bisa tidur.
Tapi untuk mencapai hal tersebut sebenarnya dokter akan merintis dari bawah bukan berlangsung tiba-tiba. Jadi kalau baru saja lulus jangan harapkan langsung mendapatkan uang yang banyak.

Masih Pekerjaaan Mulia
Semua orang mengakui bahwa menjadi dokter adalah suatu pekerjaan mulia. Bahkan pakar Marketing seperti Hermawan Kartajaya pun berpendapat demikian. Ini dikarenakan karena pekerjaannya berhubungan dengan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia yaitu Kesehatan. Tanpa kesehatan sekaya apapun orang itu tidak akan berguna.
Tapi tentunya menjadi dokter yang mulia tidaklah gampang, harus ada suatu komitmen terus menerus yang tidak kenal henti dari si dokter. Berhubungan dengan begitu banyak pasien tentunya tidak akan selalu memberikan hasil yang diharapkan pasien.
Namun si dokter harus terus berusaha meningkatkan kemampuannya dalam mengobati pasien yang datang kepadanya
Saya berharap calon-calon teman sejawat yang akan menempuh pendidikan dokter dapat terus memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam profesi mulia ini.
Jangan hanya berpikir untuk menjadi kaya bila ingin menjadi dokter karena kalian akan kecewa. Jangan pula berpikir untuk segera "Balik Modal" sesaat setelah menjadi dokter nanti karena ini akan menjebak anda dalam praktek kedokteran yang tidak etis.
Semoga niat baik kita semua yang ingin menjadi Dokter selalu terpelihara sepanjang masa