Selasa, 23 November 2010

Gangguan Perilaku dan Emosi pada Penyakit Pikun

Pikun seringkali dianggap biasa oleh banyak orang. Proses penuaan seringkali merupakan salah satu faktor terjadinya kepikunan. Banyak orang mengatakan hal ini biasa, wajar kalau makin tua makin pikun. Namun sebenarnya hal ini tidak wajar. Pikun adalah suatu kondisi penyakit dan biasanya tidak hanya berhubungan dengan kondisi kognitif seperti fungsi berpikir, mengolah informasi dan mengeksekusi suatu perbuatan namun juga seringkali berhubungan dengan gangguan pada perilaku dan emosionalnya

Dalam kedokteran jiwa ada istilah Behavior and Psychological Syndrome of Demensia. Inilah suatu kondisi gangguan perilaku dan psikologis yang banyak terjadi pada pasien yang mengalami kepikunan atau disebut demensia.
Beberapa gejalanya mirip gangguan jiwa berat skizofrenia dan gangguan depresi. Sehingga tidak heran ada beberapa yang dianggap sudah mengalami kegilaan.
Beberapa gejala yang sering ditemukan adalah
1. Kemarahan
2. Rasa putus asa berlebihan
3. Agresif
4. Tidak bisa menerima pendapat dan keras kepala
5. Sulit tidur
6. Merasa didatangi oleh kawan-kawan yang sudah meninggal
7. Merasa ada yang ingin berbuat jahat terhadap dirinya
8. Pikiran paranoid
9. Halusinasi atau mendengar bisikan sesuatu di telinga
10. Bangun di malam hari dan merasa tidak berada di rumahnya (disorientasi)

Kondisi ini sangat menggangu dan seringkali kondisi inilah yang menyebabkan orang membawa keluarganya kontrol ke psikiater.
Pengobatannya sendiri dengan menggunakan obat2 antidepresan, antipsikotik dan antidemensia. Walaupun biasanya berjalan lambat perbaikannya, namun jika tidak diobati kondisinya akan semakin parah sampai-sampai tidak mengenali keluarganya.
Jadi jika mengalami kondisi seperti di atas, bisa segera berkonsultasi

Salam,
Andri, Psikiater
mbahndi@yahoo.com

Senin, 08 November 2010

Kedokteran Psikosomatik Sebagai Subspesialisasi Psikiatri

Tahun 2003 di Amerika Serikat adalah merupakan awal permulaan yang menggembirakan bagi perkembangan secara formal dari bidang CL-psychiatry. The American Board of Psychiatry and Neurology (ABPN) mengesahkan Consultation Liaison Psychiatry (CL-psychiatry) sebagai subspesialisasi ketujuh dan diberi nama Psychosomatic Medicine. Selanjutnya American Board of Medical Specialty (ABMS) juga mensahkan hal ini pada Maret 2003. Populasi pasien yang menjadi perhatian layanan kedokteran psikosomatik adalah pasien sakit medis yang kompleks (complex medically ill).
The Academy of Psychosomatic Medicine (APM) yang merupakan organisasi para psikiater CL mendorong terbentuknya suatu dewan yang secara formal menyelenggarakan suatu pendidikan lanjutan subspesialisasi Psychosomatic Medicine dan ujian kompetensi bagi para peserta pendidikan tersebut. Di dalam klausal yang diajukan ke ABPN, psikiater yang telah mendapatkan pendidikan kedokteran psikosomatik (Psychosomatic Medicine) adalah psikiater yang mempunyai kompetensi khusus dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan psikiatri atau gejala psikiatri pada pasien dengan kondisi medis yang kompleks.
Ujian board yang diselenggarakan oleh The Academy of Psychosomatic Medicine untuk meluluskan psikiater subspesialisasi kedokteran psikosomatik pertama kali dilakukan pada tahun 2005.
Istilah Psychosomatic Medicine sebagai subspesialisasi yang sebelum tahun 2003 disebut sebagai CL-psychiatry hanya digunakan di Amerika Serikat. Walaupun pada kenyataan di lapangan terutama di Amerika Serikat, penggunaan istilah Consultation-Liaison Psychiatry dan Psychosomatic Medicine seringkali dipakai secara berkebalikan dan bergantian dengan makna yang sama. Namun secara formal, semua buku teks yang sebelumnya berjudul Consultation-Liaison Psychiatry telah diubah namanya menjadi Psychosomatic Medicine. Negara Eropa sampai saat ini menggunakan istilah Liaison Psychiatry untuk merujuk kepada Consultation-Liaison Psychiatry sebagai suatu bidang subspesialisasi dari psikiatri. Bahkan di Jerman dan Jepang, Psychosomatic Medicine adalah suatu bidang spesialisasi yang terpisah dari psikiatri dan mempunyai pendidikan formal spesialisasi sendiri.

Selasa, 26 Januari 2010

Mekanisme Adaptasi Terhadap Stres

Ketika bertemu pasien di tempat praktek, rata-rata mereka selalau bertanya, mengapa saya bisa mengalami kondisi yang sangat tidak nyaman ini. Rasanya saya bukan orang yang gampang menyerah dan tidak beriman lanjut si pasien. Lalu mengapa masalah seperti ini sampai membuat rasanya badan saya menjadi tidak karuan, berdebar-debar dan cemas tidak terkira.
Kondisi gangguan kesehatan jiwa apapun itu sepatutnya dilihat dari tiga segi yaitu Biologi, Psikologi dan Sosial. Masing-masing mempunyai peranan dalam menimbulkan suatu gangguan kesehatan jiwa pada seseorang. Di bawah ini akan dibahas secara singkat :

a. Faktor Biologi
Orang dengan kondisi gangguan kesehatan jiwa mempunyai kerentanan di dalam stuktur otak yang berhubungan dengan mekanisme pertahanan terhadap stresnya. Setiap orang sebenarnya mempunyai mekanisme yang berbeda-beda terhadap stres yang dihadapi, ini berhubungan juga dengan mekanisme adaptasi masing-masing orang. Tidak heran jika satu orang berbeda dengan orang yang lain ketika menghadapi beban yang sekiranya dianggap sama. Mekanisme adaptasi yang berbeda ini pula yang menentukan apakah kondisi saraf di otaknya akan berpengaruh banyak atau tidak ketika stres datang. Mekanisme adaptasi yang diperoleh dari pembelajaran juga sangat mempengaruhi ketahanan otak dalam menghadapi stres.

b. Faktor Psikologi
Faktor ini dipengaruhi oleh pembelajaran dari keluarga, lingkungan dan orang-orang terdekat individu. Ketika seseorang belajar, maka dia pertama kali belajar dari orang dekatnya dalam hal ini adalah orang tua. Maka ketika dia belajar, apa yang dilakukan oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap cara si individu itu menghadapi kondisi. Tidak heran anak terkadang meniru cara orang tua dalam menghadapi masalah. Ini proses belajar yang sangat dasar. Maka sering dijumpai dalam praktek, seorang pasien gangguan cemas biasanya memiliki orang tua yang juga pencemas.

c. Faktor Sosial
Faktor ini juga mempunyai pengaruh yang besar kepada individu. Ada kalanya ketika semua sisi biologis dan psikologis sudah diperbaiki, sisi lingkungan sosial ternyata tidak berubah juga, maka hasilnya sama saja. Banyak pasien yang mengatakan tempat bekerja maupun lingkungannya tidak nyaman, namun sayangnya semuanya tidak bisa berubah. KOndisi seperti ini memerlukan mekanisme adaptasi yang lebih baik lagi dari pasien, kecuali dia mau semuanya menjadi sia-sia.

Ternyata pengalaman pasien mengatakan tidak mudah untuk memodifikasi gaya hidup, lingkungan sosial dan meningkatkan mekanisme adaptasi. Semuanya memerlukan proses dan pembelajaran yang tekun dan sangat baik. Kondisi otak akibat cemas dapat diobati dan dibetulkan dengan obat, namun kondisi psikologis dan lingkungan semuanya berpulang kepada si pasien sendiri. Psikiater hanya memberikan suatu pandangan menyeluruh tentang kondisi pasien, dia memperlihatkan masalah kepada pasien lebih jelas lagi, psikiater juga membantu pasien mengenali masalahnya lebih baik lagi.
Tidak mengherankan biasanya semakin pasien mampu berkoorperasi dengan psikiaternya maka peningkatan kualitas hidup dan kesempatan untuk sembuhnya akan semakin terbuka lebar.

Dr.Andri,SpKJ
mbahndi@yahoo.com