Penulis : dr.Andri,SpKJ, FACLP (Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa) Omni Hospital Alam Sutera
Twitter : @mbahndi
Sebenarnya kalau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) itu bisa sukses, maka seperti pada umumnya suatu TERAPI PERILAKU pada umumnya dalam ilmu psikologi maka akan tercipta suatu perilaku baru yg lebih baik daripada sebelumnya. Pada kasus pandemi COVID-19 ini perilaku yang berkaitan dengan bagaimana hidup di masa pandemi ini. Sayangnya PSBB buat sebagian masyarakat kita sepertinya tidak berhasil!
Lihat saja video-video dan berita yang tersebar terkait bagaimana masyarakat mengakali PSBB untuk mudik, berkerumun di keramaian, tidak takut desak-desakan di tempat umum dan mengabaikan menggunakan masker yg benar. Punishment atau Hukuman untuk pelanggar PSBB sepertinya tidak cukup manfaatnya. Ketidakpedulian mereka lebih dominan daripada kesadaran untuk menjaga diri sendiri dan orang lain.
Dalam Ilmu Psikiatri sebenarnya ketika Terapi Perilaku dilakukan dengan baik oleh pasien maka akhirnya akan tercipta perilaku baru yang lebih adaptif dengan kondisi pasien. Hal ini akan membuat kualitas hidup pasien sendiri akan meningkat. Walaupun kadang pada saat selesai terapi perilakunya, kognitif atau daya pikirnya belum paham benar mengapa perilakunya harus berubah, tapi perilaku baru yang lebih adaptif terhadap kondisi pasien sudah terjadi. Hal ini sebenarnya sama dengan PSBB ini, anjuran dan segala macam larangan telah diterapkan, namun sebagian besar masyarakat tidak paham mengapa harus pakai masker, menjaga jarak dan #dirumahaja. Mereka mungkin berpikir apa sebenarnya untungnya buat mereka dengan melakukan semua itu, maka ketika dilonggarkan, semua aturan PSBB dilanggar! Artinya dlm hal ini PSBB bagi sebagian masyarakat telah gagal menjadi suatu proses TERAPI PERILAKU.
Hal yang saya khawatirkan dan sepertinya akan terjadi adalah ketika terjadi relaksasi PSBB maka "New Normal" yg diharapkan oleh pemerintah tidak akan tercapai karena masyarakat belum berubah perilakunya, apalagi kognitifnya berkaitan dgn pandemi. Mereka bisa lupa untuk menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan lebih sering jika banyak memegang sesuatu. Mereka akan menganggap pandemi sudah berlalu dan kita kembali seperti semula. Padahal kalau melihat grafik penambahan kasus sendiri di Indonesia sepertinya belum mengalami stagnasi tetapi cenderung terus bertambah. Walaupun dari yang terinfeksi hanya 5% yang akan menjadi parah dan memerlukan perawatan intensif, namun jika yang terinfeksi jutaan manusia maka kita akan sangat kewalahan atau bahkan tidak sanggup merawat 5% orang-orang tersebut di rumah sakit-rumah sakit yang kita miliki karena kekurangan alat kesehatan dan ruangan yang baik. Hal ini juga akan membuat penderita penyakit lain juga kesulitan untuk bisa berobat ke rumah sakit karena khawatir tertular karena mereka sendiri rentan.
Kalau ditanya mengapa bisa demikian? Mengapa PSBB tidak efektif mengubah perilaku masyarakat? Maka jawabannya bisa banyak. Dari tidak adanya solidaritas antara kita sebagai masyarakat, ketidakpedulian kita, rasa mau menang sendiri bisa jadi jawabannya. Atau juga mungkin pandemi ini belum sepenuhnya dimengerti masyarakat tentang bahaya dan kemungkinan menularkannya walaupun setiap hari pemerintah hadir di media TV. Kita tentunya bisa mempunyai banyak jawaban. Kalau yang dijadikan alasan bahwa banyak orang keluar karena alasan ekonomi mencari nafkah maka sebenarnya belum tentu bisa jadi alasan karena ternyata banyak kita temukan yang tidak peduli berkumpul hanya sekedar untuk berkumpul seperti kejadian di Sarinah atau ketidakmampuan mengatur diri dengan menjaga jarak saat di bandara terminal 2 yang terekam dalam gambar.
Bagaimana pendapat teman-teman, apakah yang membuat PSBB ini tidak bisa menjadi ajang pembelajaran untuk menghadapi "new normal"?
Salam Sehat Jiwa