Sabtu, 07 September 2019

Kenali Stres, Cegah Depresi

Saat menulis artikel ini saya sedang berada di Copenghagen, Denmark dalam rangka mengikuti kongres European College of Neuropsychopharmacologicum (ECNP) #ECNP2019. Kongres ini berfokus pada pengobatan dengan menggunakan psikofarmaka atau dengan obat psikotropik yang biasanya digunakan oleh dokter jiwa/psikiater dan dokter saraf/neurologis. Berbagai perkembangan terbaru pengobatan khususnya bagaimana obat semakin menarget individu secara spesifik dipaparkan oleh para peneliti di bidang psikofarmakologi dari berbagai negara Eropa. Pesertanya sendiri sampai sekitar 3000 psikiater, neurologis, farmakalogis dan peneliti berbagai bidang biologi otak. 
Namun dalam artikel ini saya akan sedikit berbagi terkait hal dasar yang masih dibicarakan sampai saat ini yaitu bagaimana STRESS bisa mempengaruhi OTAK dan membuat kita dapat mengalami DEPRESI. 
Daya Adaptasi Otak
Tidak semua orang yang mengalami stres dalam kehidupannya akan mengalami gangguan jiwa depresi. Kita tahu bahwa tidak semua orang yang mengeluh stres mengalami gejala-gejala depresi atau akan mengalami depresi. Bisa saja kondisi stres yang dia alami bahkan membuat dia semakin mampu melakukan tugas kehidupan sehari-hari bahkan mencapai sesuatu yang dia harapkan. 
Para psikiater dan psikolog pasti memahami teori General Adaptation Syndrome yang dikemukan oleh Hans Seyle dan dipublikasikan tahun 1950. Stres yang kita persepsikan sebagai sesuatu yang negatif akan melalu fase 1 yaitu fase reaksi alarm. Saat Fase 1 ini atau yang disebut fase alarm, biasanya indvidu yang mengalami stres akan mengumpulkan berbagai sumber yang dia miliki untuk melawan stres atau lebih tepatnya beradaptasi dengan stres tersebut. Kita semua pasti pernah mengalaminya ketika kita berupaya keras untuk mengatasi masalah yang ada di hadapan kita. Fase selanjutnya adalah Fase "Resistance" di mana kita mulai bisa beradaptasi dengan stres kita tersebut. Pada fase ini biasanya tubuh sendiri bisa mengatasi segala macam masalah yang sudah kita alami. Namun demikian sering kali kita tidak mampu atau karena kondisi stres yang kita alami tersebut terlalu lama maka kita masuk ke fase 3 yaitu"Exhaustion". Pada fase ini sumber daya kita mengatasi stres akhirnya berkurang dan kita tidak mampu lagi bertahan terhadap stres yang kita alami tersebut. Pada fase ini lah orang bisa mengalami keluhan stres yang berkepanjangan dan juga bisa mengarah ke gangguan jiwa seperti gangguan cemas atau depresi. 
Kenali Gejala Stres 
Salah satu yang diungkapkan pembicara kemarin adalah bagaimana kita bisa mengenali stres kita baik yang bergejala fisik, psikologis dan perilaku. Mari kita lihat satu per satu
1. Gejala Fisik
- Jantung berdebar
- Sakit kepala
- Berkeringat
- Nyeri lambung
- Perasaan fisik tidak nyaman, atau mungkin dianggap "Tidak enak badan"
- Nyeri Otot
- Nafsu makan menurun
- Gampang sakit karena imunitas tubuh menurun

2. Gejala Psikologis 
- Rasa tegang 
- Kelelahan
- Gangguan Tidur
- Gangguan memori
- Susah konsentrasi
- Tidak sabaran
- Gelisah
- Perasaan Depresi
- Perasaan Cemas

3. Gejala Perilaku
- Terlalu kritis dan mudah tersinggung
- Susah menentukan pilihan
- Kehilangan daya nalar
- Bicara terlalu cepat
- Sering menyela orang lain
- Peningkatan penggunaan stimulan ( termasuk kopi, minuman energi, bahkan narkotika seperti sabu)
- Sering bolos sekolah atau kerja
- Tidak ada komitmen

Jika saudara mulai mengalami gejala-gejala tersebut dan sudah berlangsung lebih dari 2 minggu berturut-turut maka ada baiknya segera menghubungi dokter jiwa atau psikolog terdekat. Saudara mungkin belum tentu mengalami gangguan depresi yang mana gejala utamanya hilang minat, putus asa dan mood yang sedih terus menerus, namun ada baiknya saudara bisa memeriksakan diri ke profesional jika dirasakan mengganggu pekerjaan dan kehidupan pribadi. Semoga laporan ini bermanfaat. Sampai bertemu di laporan saya berikutnya. Salam Sehat Jiwa dari Copenhagen, Denmark