Rabu, 11 Desember 2013

Saya Akui Saya Sakit Jiwa!

Saya Akui Saya Sakit Jiwa!
Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater)

Dalam praktek sehari-hari sering kali pasien yang datang berkonsultasi pada akhir wawancara mengatakan “Jadi saya sakit jiwa bukan dok?”. Pertanyaan yang sebenarnya mempunyai makna retorik karena memang tentunya ketika memutuskan datang ke psikiater, pasien sedikit banyak telah memahami ada masalah dalam kejiwaannya. Namun mungkin lebih banyak pertanyaan ini diutarakan karena pasien kebanyakan memahami yang dimaksud sakit jiwa itu adalah gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Lebih gamblang lagi pasien banyak yang menanyakan langsung “Apakah saya gila?”.

Stigma yang melekat pada gangguan jiwa memang tidak enteng. Pasien rata-rata dalam banyak diskusi dan sesi konsultasi mengatakan bahwa ke psikiater merupakan suatu hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pasien kebanyakan menolak ide untuk ke psikiater karena merasa tidak cocok berkonsultasi masalah yang dihadapinya ke seorang dokter yang kebanyakan dikenal orang mengobati orang dengan masalah gangguan jiwa berat. Apalagi jika pasien mengalami masalah gangguan fisik sebagai manifestasi masalah psikis (psikosomatik), pasien bisa bertanya-tanya dalam hati, apa keperluannya dirinya berkonsultasi masalah fisik ke dokter jiwa.

Menerima diri apa adanya
Penerimaan akan kondisi diri sendiri merupakan suatu langkah yang sangat penting dalam proses terapi dengan psikiater. Pasien sering kali merasa ragu dan malu bahkan mungkin takut menerima bahwa dirinya saat ini membutuhkan bantuan seorang dokter jiwa. Banyak kesempatan pasien mengatakan bahwa mereka tidak habis pikir mengapa mereka yang dulunya sehat walafiat, bekerja dengan semangat dan penuh percaya diri, sekarang menjadi manusia yang penuh ketakutan, kecemasan dan rendah diri. Mereka tidak bisa menerima kehilangan dirinya yang dulu sehingga sering kita temukan pasien gangguan kecemasan juga mengalami gejala-gejala depresi.

Baiknya dalam proses terapi pasien mampu dan mempunyai kesadaran untuk menerima dirinya saat ini membutuhkan bantuan. Pasien juga perlu menerima bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah suatu hal yang memang bisa terjadi pada semua orang. Sering pasien merasa dirinyalah yang paling menderita dengan keluhannya sekarang. Pasien sering lupa bahwa gangguan jiwa itu banyak diderita oleh banyak orang di dunia ini, tua muda, laki-laki dan perempuan dari berbagai golongan dan status sosial yang beragam.

Kesulitan menerima diri dengan kondisi gangguan jiwa yang dialami sebenarnya akan menyulitkan pasien untuk sembuh. Contohnya seorang yang mengalami gangguan dan gejala-gejala fisik tapi tidak ditemukan dasar bermakna secara organik akan kondisinya itu. Ketika dia belum bisa menerima dirinya itu maka pasien akan terus berupaya melakukan pencarian pengobatan medis fisik yang bertujuan untuk mencari tahu dasarnya. Saat disarankan untuk ke psikiater, pasien akan menolak dengan tegas dan malah bisa tersinggung. Tidak heran dalam praktek sehari-hari, tidak banyak juga dokter yang mau menyarankan pasiennya untuk ke psikiater. Pemahaman tentang peran psikiater yang masih sempit ini yang membuat pasien menjadi tersinggung jika disarankan ke psikiater.

Padahal proses penerimaan yang baik tentang kondisi dirinya tersebut akan mampu membantu dalam proses terapi. Pasien akan bisa menerima dirinya dan kondisinya, mau berupaya dengan semangat untuk mengatasi masalahnya itu dan bisa memotivasi dirinya lebih baik. Jadi sebenarnya inti dalam pengobatan psikiatri sebenarnya adalah diawali dengan kemapuan untuk menerima diri apa adanya. Kalau memang sakit jiwa, mengapa harus malu mengakuinya? Salam Sehat Jiwa.

Maukah kita mengakui bahwa kita sakit jiwa seperti kita mengakui kita suka Durian? 


                                                                                                                                                                                      

Tidak ada komentar: