Senin, 07 Maret 2011

Korupsi Itu Gangguan Jiwa

Saya tergerak menuliskan judul di atas karena membaca tulisan saudara Laode Ida berjudul Korupsi, Reformasi, Kekuatan Politik (Kompas 15/12/2010) yang kalimat awalnya mengatakan bahwa korupsi pada dasarnya adalah suatu penyakit kronis yang merusak moralitas para penyelenggara negara. Sebagai seorang psikiater saya melihat korupsi seperti layaknya penyakit jiwa yang bersifat kronis dan sering kambuh. Kalau bisa disamakan dengan suatu diagnosis gangguan jiwa, penyakit korupsi lebih cocok dimasukkan ke dalam gangguan kepribadian.

Gangguan kepribadian merupakan gangguan kejiwaan yang tidak disadari oleh si penderitanya. Kondisi gangguan jiwa jenis ini biasanya menimbulkan permasalahan pada lingkungan terdekat si penderita dan orang-orang di sekitarnya. Gangguan kepribadian berkembang sejak masa anak dan remaja dan mencapai puncaknya ketika mulai merambah kedewasaan muda.

Ciri yang paling menonjol dari gangguan kepribadian adalah tidak adanya suatu upaya untuk memperbaiki diri. Karena tidak disadari oleh dirinya, biasanya si penderita tidak akan mencari pertolongan karena memang merasa tidak ada yang salah. Orang sekitar penderita dan lingkungan sosial yang biasa mengalami keluhan akibat perilaku dari orang yang mengalami gangguan kepribadian ini.

Gangguan Kepribadian Antisosial

Berbicara tentang jenis gangguan kepribadian yang paling cocok disematkan kepada koruptor, saya akhirnya memilih jenis gangguan kepribadian antisosial. Gangguan kepribadian antisosial lebih dikenal dengan sebutan gangguan psikopatik dengan orang yang menderitanya disebut psikopat.

Beberapa ciri yang sekiranya cocok dengan karakter dari seorang koruptor adalah tidak merasa bersalah atas perbuatan yang telah dilakukan malahan ada kecenderungan untuk mengulanginya terus, sering berbohong, menggunakan orang lain untuk kepentingan pribadi, perilaku impulsif, agresif, tidak bertanggung jawab serta menggunakan alasan-alasan rasionalisasi untuk membenarkan segala tindakannya yang salah dan merugikan orang lain.

Kondisi ini sangat pas untuk menggambarkan suatu kondisi yang dialami oleh para koruptor. Para koruptor tahu apa yang dilakukannya merugikan masyarakat, tetapi mereka tidak peduli sekedar untuk memberikan kepuasan kepada diri mereka sendiri. Walaupun mengetahui perbuatan itu melanggar hukum negara dan hukum agama, tetap saja perbuatan itu dilakukan berulang-ulang tanpa ada niat menghentikan dan merasa menyesal akan perbuatannya. Para koruptor juga sering menggunakan orang lain untuk kepentingan mereka pribadi dan seringkali memberikan alasan-alasan yang mendukung perbuatan korupsinya. Yang paling berbahaya adalah kondisi gangguan kepribadian layaknya koruptor tidak mampu untuk berempati.

Kalau sudah demikian layaklah seorang koruptor dikatakan memang menderita gangguan jiwa yaitu gangguan kepribadian antisosial.

Terapi Perilaku dan Kognitif

Gangguan kepribadian adalah salah satu gangguan jiwa yang paling sulit disembuhkan. Hal ini karena daya tilikan atau penilaian terhadap diri dari penderita gangguan kepribadian tidak ada. Mereka merasa dirinya tidak bersalah dan merasa perbuatannya tersebut tidak ada hubungan dengan orang lain. Untuk itulah kondisi ini biasanya diperbaiki dengan melibatkan banyak faktor yang mampu memfasilitasi perbaikan yang diharapkan.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan terapi kognitif dan perilaku. Perkembangan kognitif anak dimulai dari masa keemasan di bawah 4 tahun. Kemampuan untuk meniru adalah sesuatu yang paling pertama bisa dilakukan oleh anak. Selanjutnya bertambah usia maka kemampuan berolah pikiran dan mencerna informasi semakin baik. Kondisi ini bisa dimanfaatkan dalam memupuk rasa tanggung jawab dan empati kepada sesama. Memberikan contoh perilaku yang baik dimulai pada saat anak mulai tertarik dengan lingkungannya dimulai sejak usia dini 6 bulan.

Memberikan contoh yang baik tentang tanggung jawab dan tidak mencuri adalah sangat baik bagi perkembangan mentalnya kelak. Setelah makin besar maka kita bisa membuat anak mengerti tentang apa itu korupsi dan dampaknya bagi masyarakat. Jangan biarkan mereka mendapatkan informasi dari televisi yang memberikan informasi yang simpang siur tentang perilaku korupsi. Apakah tidak aneh ketika pencuri uang negara dihukum lebih ringan daripada pencuri buah di kebun orang lain. Walaupun sama-sama mencuri harusnya orang yang mencuri lebih besar dampaknya dihukum lebih berat. Pelajaran ini yang tidak didapatkan dari televisi malahan pelajaran kalau mau mencuri sekalian yang besar saja karena nantinya juga sama saja hukumannya.

Sungguh melihat kondisi saat ini rasanya bukan kondisi yang baik untuk tumbuh kembang anak kita di masa depan. Mereka menjadi kebingungan tentang berbagai macam standar ganda yang ditetapkan di masyarakat. Lindungi mereka dari bahaya laten korupsi, jangan sampai terpengaruh tanpa sadar karena menjadi koruptor sebenarnya sama saja seorang yang menderita gangguan jiwa.

Dimuat di Suara Pembaruan 30 Jan 2011

Tidak ada komentar: