Minggu, 01 Desember 2013

Dispepsia Fungsional : Gangguan Lambung Yang Sulit Sembuhnya

Dispepsia Fungsional : Gangguan Lambung Yang Sulit Sembuhnya
Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine)

Sebagai seorang psikiater yang lebih banyak menangani kasus-kasus psikosomatik, dalam keseharian praktek saya lebih sering bertemu dengan kasus-kasus keluhan fisik yang sering tidak didasari oleh adanya masalah organ yang mendasarinya. Keluhan fisik ini kebanyakan disebabkan karena aktifitas sistem saraf otonom yang berlebihan. Beberapa gejala seperti jantung tiba-tiba berdebar kencang, sesak napas, keluhan lambung yang tidak nyaman adalah hal-hal yang sering dikaitkan dengan aktifitas sistem saraf otonom yang berlebihan. Belakangan saya juga banyak didatangi pasien dengan kasus-kasus gangguan lambung yang tidak kunjung sembuh dalam perawatan dokter penyakit dalam. Beberapa contoh kasus di bawah ini mungkin bisa membantu memahami.

Kasus 1.
Laki-laki usia 48 tahun dengan keluhan nyeri lambung yang sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu. Perasaan tidak enak di lambung tidak berkurang dengan asupan makanan. Pasien mengatakan rasa sebah/kembung yang dirasakan walaupun makan sedikit saja. Pemeriksaan gastroskopi (endoskopi dan kolonoskopi) sudah dilakukan dan hasilnya dianggap normal, tidak ada ulkus/luka di lambung. Pemeriksaan H.Pylori juga telah dilakukan dan hasilnya negatif. Pasien berobat ke internist khusus lambung (Gastoenterologis/SpPD-KGEH) dan diberikan terapi obat PPI (Proton Pump Inhibitor seperti gol Omeperazole dan kawan-kawannya yang dikenal dengan merk Nexium,Pariet,Prosogan dll) dan prokinetik (Domperidone dikenal dengan merk Motilium,Vometa,Vomitas). Hampir setahun memakai obat tersebut perubahan hanya terjadi jika makan obat saja. Jika obat dilepaskan rasa kembung dan tidak nyaman kembali terjadi. Pasien akhirnya memutuskan sendiri berobat ke psikiater dan diagnosis saat dilakukan pemeriksaan fisik dan mental lebih mengarah ke DIspepsia Fungsional dengan latar belakang kepribadian tipe anankastik/obsesif kompulsif. Pasien direncanakan pengobatan dengan antidepresan golongan SSRI dan sulpiride pada awal terapi. Perbaikan gejala dicapai pada hari bulan kedua dan masuk bulan ke tiga pengobatan SSRI hanya setengah dosis dan sulpiride sudah dilepaskan. Pasien merasa lebih baik. Pasien makan saat ini tidak terlalu takut lagi karena merasa sudah sangat nyaman perutnya walaupun makan makanan yang dulu biasa pasien hindari (cabe, cuka dan lada). Pasien mengatakan sempat lupa makan obat SSRI-nya selama dua minggu tapi kemudian gejalanya tidak kambuh. Itulah perbedaan yang dikatakan pasien, ketika dulu makan obat golongan PPI, jika tidak dimakan gejala kambuh sedangkan pengobatan dengan antidepresan ketika dihentikan pun tidak berulang. Saat ini pasien sedang dalam tahapan pelepasan obat dan disarankan untuk tetap makan obat dengan dosis setengah sampai akhir bulan Desember 2013.

Kasus 2.
Pasien perempuan 35 tahun dengan keluhan rasa tidak nyaman di lambung dan sering merasa perih seperti ingin makan. Karena keluhan ini pasien beberapa kali makan dalam sehari (bisa 5-7 kali) agar perutnya tetap terisi menurut pasien. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri yang timbul karena jika perutnya “kosong” pasien merasa perih. Pasien awalnya hanya mengobati dirinya sendiri dengan obat maag dari warung atau coba-coba makan obat golongan H-2 Antagonis seperti Ranitidine yang dibelinya di apotek. Tapi keluhan tidak berkurang. Karena khawatir maka pasien berobat ke dokter penyakit dalam dan kemudian diberikan obat-obat golongan PPI dan juga untuk antikembungnya. Belum banyak perubahan setelah 3 bulan pengobatan dan akhirnya disarankan untuk melakukan endoskopi. Hasil endoskopi tidak menunjukkan adanya ulkus/luka dan kelainan yang dianggap bisa menyebabkan kondisinya saat ini. Pasien mulai merasakan keluhan cemas dan mulai kadang sulit tidur. Pasien akhirnya memutuskan berobat ke saya karena merasa mulai menjadi sering ada keluhan cemas yang berlebihan karena sakit perut yang tak kunjung sembuh. Pemeriksaan fisik dan status mental mengatakan bahwa pasien ini mengalami Dispepsia Fungsional dengan kondisi kejiwaan Gangguan Penyesuaian. Terapi yang diberikan dengan menggunakan antidepresan SNRI dan terapi simptomatik untuk gejala lambungnya. Setelah dua bulan melakukan terapi dengan antidepresan pasien mengalami perbaikan. Saat ini pasien bisa makan 3 kali sehari seperti biasa tanpa rasa perih di lambung. Keluhan lambung sudah sangat minimal.

Aspek Psikososial Gangguan Lambung
Gangguan lambung sebagai suatu keluhan utama atau sebagai keluhan tambahan yang berhubungan dengan gangguan kejiwaan banyak ditemukan pada pasien-pasien yang berkunjung ke Klinik Psikosomatik RS OMNI. Lambung memang organ otonom yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem saraf otak manusia dan terutama fungsi kejiwaannya. Lambung bahkan dianggap memiliki “otak” sendiri sehingga poros lambung dan otak (Brain-Gut Axis) sering dikatakan mempunyai makna dalam diagnosis dan tata laksana pasien dengan keluhan lambung. Serotonin yang dikatakan zat yang mempengaruhi perasaan sekalipun lebih banyak ditemukan di lambung daripada di otak manusia. Inilah yang menjadi dasar bahwa tata laksana gangguan lambung memang tidak lepas dari faktor kejiwaan orang itu sendiri.

Secara klinis dalam berbagai penelitian juga dikatakan bahwa keluhan lambung seperti rasa nyeri, rasa kembung, perasaan penuh setelah makan walau sedikit, mual, diare sampai sulit buang air merupakan keluhan lambung yang banyak dihubungkan dengan gangguan dyspepsia fungsional. Lebih dari 30-40% keluhan lambung berhubungan dengan dyspepsia fungsional yang berarti pasien tersebut tidak mengalami masalah organik di lambungnya mereka. Saat trend kuman Helicobacter Pylory ditemukan, orang ramai-ramai mulai beralih pengobatannya kepada antibiotic untuk kasus-kasus lambung namun ternyata banyak hasil yang tidak memuaskan dan juga ternyata tidak semua kasus lambung disebabkan oleh bakteri ini.

Kasus dyspepsia fungsional sekalipun memang mempunyai dua tipe yaitu tipe yang seperti ulcer atau yang dismotilitas. Keduanya mempunyai perbedaan dalam keluhan di mana yang tipe ulcer biasanya lebih sering mengeluh nyeri sedangkan dismotilitas lebih sering mengeluh kembung.  

Sering menjadi perhatian saya adalah ketika banyak dokter yang jika sudah merasa obat PPI dan beberapa obat lain tidak mampu mengatasi keluhan lambung, mereka menambahkan obat golongan benzodiazepine yang membuat relaks lambung dan pada beberapa kasus sangat membantu. Benzodiazepine yang paling dikenal di kalangan dokter kita tahu adalah golongan alprazolam yang mempunyai potensi mengalami ketergantungan dan peningkatan dosis (toleransi). Sayangnya pengobatan dengan obat golongan ini tidak bisa lama (tidak boleh lebih dari 4 minggu) dan masalahnya yang terkait adalah jika sudah tidak memakai obat ini, keluhan lambungnya biasanya akan lebih terasa tidak nyaman/makin menjadi.

Pengobatan untuk pasien dengan kasus dyspepsia fungsional memang menarik. Penerimaan pasien terhadap penyakitnya diutamakan daripada terapi lainnya. Dokter harus mengajak pasien untuk mampu menerima kondisinya dulu dengan baik agar terapi selanjutnya bisa berlangsung baik. Pengobatan simptomatik untuk lambung boleh terus dilakukan namun pada beberapa kasus dikatakan bahwa pengobatan dengan menggunakan antidepresan golongan SSRI atau SNRI dan TCA membantu dalam proses perbaikan gejala dan pencegahan gejala tersebut berulang. Selain itu keseimbangan sistem saraf otonom juga perlu diperhatikan. Pasien dengan gangguan kecemasan yang mengalami gangguan dyspepsia fungsional biasanya lebih sering sulit sembuh daripada yang tidak. Ini membuktikan bahwa adanya masalah gangguan jiwa memperberat kondisi gangguan medis fisik dan begitupun sebaliknya.
Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan Dispepsia Fungsional. Salam Sehat Jiwa

Tidak ada komentar: