Kamis, 20 Desember 2018

SELAMAT NATAL dan TAHUN BARU 2019




Klinik Psikosomatik Omni Hospital dan Dokter Andri 
Mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru 
Semoga Tahun 2019 Memberikan Banyak Hal Positif 
Kepada Kita Semua 

Selasa, 18 Desember 2018

Langkah Awal Mengatasi Kekhawatiran, Kenali Sumbernya!



Saya mencoba meringkas beberapa poin awal dari buku "How Not To Worry"  yang dikarang oleh Paul McGee. Buku ini menampilkan kepada kita bagaimana agar kita tidak khawatir dalam menghadapi kehidupan kita ini. Pertanyaan awal saat kita mengalami kekhawatiran adalah "Dari mana kekhawatiran saya berasal?"

Setelah kita mencoba memahami kekhawatiran kita itu, maka selanjutnya kita bisa membagi kekhwatiran kita menjadi tidak kategori : situasional, antisipasi, atau stres yang tersisa.

Stres situasional berasal dari kekhawatiran yang berhubungan dengan apa yang terjadi di masa sekarang, terjadi di saat kita mengalaminya saat ini. Sumbernya bisa berasal dari kesehatan kita, pasangan hidup atau rekan sekerja. Biasanya stres jenis ini yang sering dibicarakan menjadi sumber kekhawatiran sehari-hari. Apalagi jika kondisi tidak banyak berubah dan kita pun kesulitan dalam mencoba membantu diri kita melewati stres ini. Hasilnya rasa kekhawatiran itu bisa bertahan lama dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari.

Stres antisipasi adalah kekhawatiran yang dirasakan ketika kita memikirkan tentang masa depan kita. Hal-hal misalnya ujian yang akan kita hadapi, presentasi yang akan kita jelang, atau wawancara kerja yang akan dihadapi. Keadaan stres antisipasi ini adalah cara kita untuk bersiap-siap menghadapi tantangan. Sering kali kita memerlukan keadaan ini, namun jika berlebihan maka hasilnya tidak akan baik. Kita menjadi mudah cemas terhadap segala sesuatu yang belum terjadi. Kita khawatir akan masa depan tetapi lupa dengan masa kini.

Stres yang tersisa atau residual adalah stres yang berasal dari peristiwa di masa lampau yang dampak stresnya masih terbawa ke masa kini. Gangguan Stres Pasca Trauma adalah contoh paling nyata dari kondisi stres residual. Kondisi ini biasanya cukup berat karena walaupun pemicunya sudah berlalu, gejala stresnya bisa timbul dalam bentuk ingatan kembali (flashaback dan reexperience). Sering kali kondisi ini tidak sembuh sendiri tapi harus mendapatkan pertolongan dokter jiwa atau psikolog.

Apa Gunanya Mengkategorikan Kekhawatiran?

Mengkategorikan kekhawatiran kita berfungsi membuat kita lebih memahami sumber stres kita. Dalam kondisi yang stres kita bisa bertanya sendiri ke dalam diri kita "Mengapa saya merasakan hal ini?". Ketika kita mulai dengan melakukan proses pemikiran ini maka kita bisa mendapatkan tilikan atau insight terhadap hal-hal apa saja yang mempengaruhi kita menjadi khawatir dan berupaya untuk mengatasinya.

Mengkategorikan apa jenis kekhawatiran kita dan menyadari diri sendiri mengapa sampai merasakan itu adalah langkah pertama untuk mengatasi kecemasan. Kesadaran akan diri atau tilikan terhadap rasa khawatir di dalam kita mengambil setengah jalan dari bagaimana kita dapat mengatasi sumber kekhawatiran kita. Proses ini bertujuan merefleksikan yang menjadi dasar masalah individu yang mengalami kekhawatiran. Setelah kita memahami tentu langkah selanjutnya adalah mencoba mengatasi masalah tersebut. Semoga tulisan awal dari seri #terapikecemasan ini bisa bermanfaat. Salam Sehat Jiwa



Minggu, 09 Desember 2018

Kenali Baby Blues Syndrome, Cegah Depresi Pasca Melahirkan

Sabtu, 8 Desember 2018 kemarin bertempat di Omni Hospital Alam Sutera, dengan dukungan Orami Parenting Club saya memberikan seminar berjudul "Mengenali dan Terapi Baby Blues Syndrome". Harapan saya dalam seminar ini terwujud karena selain para ibu dan calon ibu yang hadir, ada juga para suami sebagai pendamping ikut hadir mendengarkan. Hal ini menjadi penting karena masalah terkait dengan Baby Blues cukup sering dikaitkan dengan peran suami selama kehamilan dan pasca persalinan. 
Apakah sebenarnya Baby Blues Syndrome itu? Baby Blues Syndromeadalah sekumpulan gejala terkait dengan suasana perasaan yang depresif yang terjadi pada hari pertama sampai hari ke empat belas pasca persalinan yang terjadi pada ibu. Beberapa gejala Baby Blues Syndrome adalah seperti tercantum di bawah ini : 
  • Mudah menangis
  • Tidak tertarik kepada kegiatan 
  • Mudah lupa
  • Cemas dan Gelisah 
  • Mudah marah
  • Mudah lelah 
  • Sensitif
  • Pikiran kosong
  • Hilang harapan 
  • Tidak merasa bahagia 
  • Manarik diri
  • Tidak percaya diri 
Walaupun hal ini bisa terjadi pada semua perempuan yang baru saja melahirkan namun ada beberapa faktor risiko terjadinya Baby Blues Syndrome, seperti tersebut di bawah ini :
  • Dukungan sosial yang kurang
  • Kejadian buruk yang sering dan berulang (kematian orang tua dan pasangan)
  • Riwayat PMS (premenstrual syndrome), gangguan mood saat menjelang mens (Premenstrual Dysphoric Disorder) dan riwayat infertilitas 
  • Riwayat kekerasan saat anak-anak
  • Gangguan tiroid
  • Infeksi jamur yang kronis (berkepanjangan)
  • Morning sickness atau ngidam yang berat
  • Hubungan yang kurang harmonis dengan orang tua  
  • Riwayat depresi pasca melahirkan sebelumnya 
  • Air Susu Ibu (ASI) yang tidak keluar setelah melahirkan
  • Peningkatan berat badan yang berlebihan saat kehamilan dan BB kurang menurun setelah melahirkan
  • Adanya penyulit saat proses kelahiran
  • Kehamilan yang tidak diinginkan 
  • Kehamilan di usia tua (di batas 35 tahun)
  • Masalah pernikahan sebelum hamil
Jika ada pertanyaan apakah penyebab dari masalah terkait Baby Blues Syndrome ini, pertanyaan ini biasanya dapat dijawab dengan dua pendekatan yaitu pendekatan Psikososial dan Pendekatan Biologis seperti tercantum di bawah ini : 
  • Faktor Psikososial
    • Konflik berkepanjangan dalam perkawinan
    • Suasana perasaan suami istri yang tidak stabil 
    • Melahirkan di usia tua untuk perempuan melahirkan (di atas 35 tahun)
  • Faktor Biologis 
    • Penurunan estrogen dan progesteron 
    • Hormon dan zat kimiawi otak yang berperan : cortisol, thyroxin, serotonin, norepinephrin and dopamine
Baby blues syndrome perlu dikenali karena membuat kualitas kehidupan ibu dan anak menjadi buruk. Ibu menjadi kesulitan atau tidak mampu mengurus anak. Kondisi Baby Blues Syndrome juga bisa berlanjut ke depresi pasca melahirkan jika dua minggu tidak membaik. Pada kondisi yang berat sering kali ditemukan adanya pikiran bunuh diri sampai upaya melakukan upaya bunuh diri dan membunuh anaknya 
Bagaimana Mencegah dan Terapinya?
Seprti yang diungkapkan di depan, peran keluarga apalagi suami adalah sangat penting. Sarankan ibu untuk banyak beristirahat dan tidak melakukan aktifitas yang membuat stres. Sering kali yang dialami ibu pasca melahirkan adalah kesulitan tidur karena harus menjaga dan menyusui anak secara rutin. Untuk itu disarankan ibu untuk tidur jika si anak tidur. Minta bantuan suami atau pengasuh untuk menjaga bayi jika memang merasa kelelahan. Di Indonesia peran keluarga besar cukup bisa membantu banyak. Saya sering menemukan dalam praktek sehari-hari di mana ibu yang mengalami Baby Blues Syndrome yang lalu berlanjut ke depresi pasca melahirkan mendapatkan bantuan dari keluarga suami seperti ipar dan mertua untuk mengurus anaknya. Sering pula ketika punya bayi, ibu menjadi kehilangan banyak waktu untuk bersantai. Untuk itu disarankan untuk tetap punya waktu untuk relaksasi dan berinteraksi dengan teman-teman. Satu hal yang perlu diingat yaitu jika perlu konsultasikan ke psikiater untuk mendapatkan konseling dan atau pengobatan, apalagi jika dalam waktu dua minggu sejak pasca melahirkan kondisi ibu tidak membaik. 
Semoga apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini bisa membantu ibu-ibu yang sedang hamil dan akan segera melahirkan agar bisa mengenali segera jika mengalami masalah terkait baby blues syndrome. Di bawah adalah video yang saya buat setahun yang lalu untuk edukasi terkait Baby Blues Syndrome dan Depresi Pasca Melahirkan. Semoga berguna. Salam Sehat Jiwa 

Rabu, 28 November 2018

Jumat, 07 September 2018

Mampukah Pasien Depresi Berfungsi Normal Kembali?

Masterclass in Antidepressant Treatment 2018 (dok.pribadi)
Saat saya menuliskan artikel ini saya sedang berada di Amsterdam dalam rangka mengikuti Masterclass in Antidepressant Treatment 2018. Acara yang diikuti oleh 125 delegasi dari 22 negara ini berlangsung selama dua hari sejak 7-8 September 2018. Indonesia sendiri diwakili oleh dua orang psikiater termasuk saya di antaranya. Pembahasan gangguan depresi beberapa tahun belakangan ini memang memfokuskan pada fungsi pasien yang mengalaminya termasuk dalam pertemuan ini juga hal ini menjadi bahasan penting. 
Penelitian terbaru mengatakan bahwa keminatan untuk beraktifitas kembali yang ada pada pasien depresi menjadi salah satu faktor prediksi kuat terhadap keluaran terapi depresi. Gejala Depresi yang paling sering diungkapkan pasien dalam beberapa kali penelitian dikatakan adalah ketidakmampuan dalam berfungsi dalam kehidupan sehari-hari selain gejala suasana perasaan yang sedih, kehilangan minat dan kesulitan konsentrasi. Pasien depresi sering kali mengatakan dan menaruh perhatian yang besar terhadap harapan hidup yang bermakna, kemampuan untuk menikmati hidup dan rasa puas terhadap diri sendiri. Hal-hal ini yang menjadi perhatian pasien depresi, bukan hanya sekedar sembuh dari gejala-gejala klasik seperti suasana perasaan yang sedih dan rasa putus asa. 
Masalah Kognitif Pada Depresi
Gejala kognitif atau bagaimana proses pikiran dalam pasien depresi belakangan menjadi perhatian berbagai macam penelitian terbaru di bidang depresi. Ketidakmampuan pasien depresi kembali ke fungsi kognitif yang baik paling sering menjadi masalah yang akan tinggal bertahun-tahun dan kesulitan untuk diperbaiki. Hal ini yang kemudian meninggalkan gejala depresi yang tidak tertangani atau disebut gejala residual yang mengurangi kemungkinan pasien depresi untuk kembali berfungsi normal kembali setelah sembuh dari gejala depresi. Salah satu penelitian menyatakan istilah "Scar Hypothesis" yaitu bahwa fungsi kognitif yang nyata berkurang pada pasien depresi dan sulit diperbaiki menurunkan angka kembalinya pasien ke fungsi normalnya selain faktor yang sudah diketahui sebelumnya seperti banyaknya episode keberulangan depresi sebelumnya. 
Pasien depresi sendiri mempunyai beberapa masalah kognitif yang paling sering dikaitkan dengan masalah sekolah dan pekerjaan, hubungan dalam keluarga dan sosial. Gejala seperti kehilangan konsentrasi, ketidakmampuan atau penurunan produktifitas serta ketidakmampuan mempertahankan fungsi belajar sangat sering dirasakan pada pasien yang aktif sekolah dan bekerja. Dalam peran pasien depresi di keluarga juga pasien depresi sering mengalami perjuangan yang besar untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga biasa yang membutuhkan perhatian sehingga sulit untuk berpartisipasi dalam kegiatan keluarga sehari-hari. Lupa terhadap janji, ketidakmampuan memenuhi tenggang waktu tugas, menunda-nunda pekerjaan dan sulit memutuskan sesuatu dengan baik membuat pasien depresi mengalami masalah di pekerjaannya selain juga menjadi menurun kualitas kehidupan sosialnya. 
Masalah kognitif ini menjadi salah satu perhatian karena ternyata ketika skor perbaikan depresi yang biasanya diukur dengan Hamilton Depression rating scale (HAM-D) didapatkan membaik (skornya kurang atau sama dengan 7) ternyata fungsi kognitif ini sering kali tidak otomatis membaik. Bahkan beberapa penelitian mencatat lebih dari 50% pasien merasa tidak mengalami perbaikan atau berkurangnya gejala depresinya karena faktor tidak membaiknya fungsi terkait kognitif ini. 
Kriteria Sembuh Pasien Depresi
Pasien mempunyai persepsi yang berbeda dari dokter ketika berbicara tentang depresi. Pasien depresi mengatakan bahwa yang disebut sembuh oleh pasien adalah ketika pasien menjadi lebih optimis dan percaya diri, meningkat fungsinya dalam kehidupan, kemampuan mengontrol emosi serta mampu menikmati aktifitas sehari-hari dan berhubungan dengan orang lain. Persepsi ini lebih luas daripada persepsi dokter tentang sembuh yang sering kali lebih menekankan pada hilangnya gejala depresi. 
Salah satu yang sering menjadi harapan dokter dalam pengobatan depresi memang lebih berkaitan dengan menghilangnya semua gejala depresi, sesuatu yang dalam kenyataan praktek sebenarnya sangat sulit didapatkan. Dokter sering harus menghadapi kenyataan bahwa gejala depresi pasiennya tidak semua mampu disembuhkan dan akhirnya meninggalkan gejala sisa. 
Kembalinya fungsi pasien menjadi lebih normal daripada sebelum depresi menjadi harapan setiap dokter dan pasien. Inilah yang membuat beberapa tahun belakangan ini perbaikan gejala sisa depresi seperti gejala fisik (somatik) dan juga gejala kognitif menjadi fokus perhatian penelitian depresi. Tujuannya adalah mengembalikan pasien depresi kembali ke fungsi normalnya selain menghilangkan gejalanya. Fungsi kembali normal ini tentunya akan meliputi fungsi kerja atau sekolah, dalam keluarga dan sosial. Semoga kita semua mampu mewujudkannya dengan kerjasama yang baik antara pasien, dokter dan keluarga yang didukung oleh terapi depresi yang baik, mutakhir dan tepat sasaran. Salam Sehat Jiwa 

Sabtu, 25 Agustus 2018

Psikiater dan Media Sosial

Saya saat menuliskan tulisan ini masih berada di Seoul, Korea Selatan dalam rangka mengikuti kongres Asian College of Psychosomatic Medicine (ACPM) ke-18 yang berlangsung dari 24-26 Agustus 2018 yang kali ini mengambil tema "Beginning of New Life in 4th Industrial Revolution". Tema ini sengaja dipilih karena saat ini kita sedang berada di era digital dengan kecanggihan teknologi internet dan kepintaran buatan. 
Sembilan tahun berselang sejak pertama kali menggunakan media sosial untuk mengedukasi masyarakat terkait masalah kejiwaan khususnya psikosomatik, pada tahun ini bertepatan dengan 10 tahun pengabdian di bidang kesehatan jiwa, saya mempresentasikan makalah saya di kongres Asian College of Psychosomatic Medicine yang ke-18. 
Laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mengatakan bahwa penetrasi internet di Indonesia berada di 143,26 juta jiwa pada 2017, sekitar 54,68% dari total populasi Indonesia yang 262 juta jiwa. Pertumbuhan pengguna internet sendiri di Indonesia cukup pesat, dari sekitar 20 juta pengguna pada tahun 2007 menjadi 143,26 juta pada 2017. 
Saat sesi tanya jawab ACPM 2018 (dok.pribadi)
Saat sesi tanya jawab ACPM 2018 (dok.pribadi)
Walaupun demikian dibandingkan negara di Asia Tenggara lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Vietnam bahkan Brunei, persentase penetrasi kita masih relatif di bawah negara-negara tersebut yaitu hanya sekitar 51%, bandingkan dengan Malaysia yang 71% dan Singapura yang 82% misalnya. Hal ini tentunya terkait dengan jumlah populasi kita yang besar dan penyebaran internet yang belum merata. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan media sosial yang masih sekitar 40%, masih di bawah Malaysia 71%, Singapura 77% dan Thailand 67%.
Hasil survey 2016 menyatakan bahwa pengguna media sosial paling besar adalah pengguna Facebook yaitu sekitar 71,6% (71,6 juta jiwa) disusul Instagram 19,9% (15 Juta jiwa) dan YouTube 11%(14,5 Juta jiwa). Data juga menyebutkan bahwa perilaku internet di Indonesia menggunakan internet untuk mengakses media sosial (97,4% atau 129,2 juta jiwa) selain berita dan hiburan. Konten yang dicari oleh pengguna internet di Indonesia ternyata 93,8% (124,4 juta jiwa) ternyata terkait dengan pendidikan. 
Dokter dan Media Sosial
Dokter selama ini dikenal dengan menggunakan cara-cara konvensional lewat penyuluhan langsung dan media televisi serta radio untuk menyebarkan informasi kesehatan. Namun dengan berkembangnya internet khususnya media sosial, maka menurut Panahi dan Watson di Health Informatics Journal bulan Juni 2016 mengatakan dokter dapat memanfaatkan media sosial salah satunya untuk membagi pengetahuan kepada masyarakat. 
Saya sendiri memulai edukasi di internet sejak tahun 2009 dimulai dengan memposting video berdurasi 6-7 menit di YouTube channel "Andri Psikosomatik" dan di Twitter dengan akun @mbahndi. Baru pada sekitar 2016, akun FB "Dokter Andri Psikiater" yang awalnya hanya bersifat untuk pribadi, digunakan juga untuk menyebarkan informasi lewat status dan juga akhirnya live FB setahun belakangan ini. 
Survey yang saya lakukan di tahun 2015 terkait hal edukasi psikosomatik di media sosial mengatakan bahwa pemirsa media sosial saya paling banyak berada pada kisaran usia 21 tahun sampai 35 tahun (lebih dari 65%). Lebih dari 95,34% membuka media sosial setiap hari dengan media sosial Facebook, YouTube dan Twitter yang paling banyak diakes. Keminatan mereka terhadap situs kesehatan cukup baik, lebih dari 40% membuka situs kesehatan setiap hari selebihnya 20,31% membuka 3 kali seminggu. 
Responden ini cukup memahami apa istilah psikosomatik yaitu lebih dari 80 persen memilih kondisi medis yang berhubungan dengan pikiran dan badan seseorang. Saya cukup senang mengetahui bahwa lebih dari 61% responden mengakses Twitter @mbahndi untuk mendapatkan informasi terkait masalah kejiwaan dan psikosomatik serta 35,86% di antaranya mengakses YouTube channel Andri Psikosomatik. Saat ini Twitter saya sendiri diikuti oleh 26.5 ribu dan YouTube channel saya dilanggan oleh lebih dari 11.800 pemirsa. Sementara itu untuk Facebook "Dokter Andri Psikiater" selain teman yang sudah mencapai 5000, follower akun FB ini juga sudah lebih dari 10 ribu. 
Apresiasi dari President of ACPM
Senangnya kemarin ada saat diskusi malah banyak pertanyaan (presentan lain yang bertanya hanya moderator, presentasi saya kemarin yang bertanya ada 3 orang peserta dan mendapat komentar positif dari moderator serta presiden kongres ACPM kali ini yaitu Prof Kim Byungsung). Lebih senang lagi karena presentasi saya disaksikan oleh President of Asian College of Psychosomatic Medicine, Prof Chiharu Kubo dari Kyushu University, Jepang. 
Setelah presentasi pun Prof Kubo menyatakan apresiasinya terkait upaya edukasi lewat media sosial yang saya lakukan dan menanyakan bagaimana cara mempunyai banyak follower di media sosial dan konten psikosomatik apa yang menarik buat orang Indonesia. Hal-hal seperti ini yang membuat saya lebih terpacu untuk membuat presentasi terkait hal yang menarik terkait masalah kesehatan jiwa khususnya masalah psikosomatik. Semoga laporan ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa 

Tulisan asli di Kompasiana : https://www.kompasiana.com/psikosomatik_andri/5b816d1dbde57517ee1f76e2/psikiater-dan-media-sosial

Rabu, 22 Agustus 2018

Peran Media Sosial Dalam Edukasi Psikosomatik



Besok malam saya akan berangkat ke Seoul, Korea Selatan dalam rangka menghadiri kongres Asian College of Psychosomatic Medicine (ACPM) yang ke-18. Ini merupakan kunjungan saya dua tahun berturut-turut ke Seoul setelah tahun lalu menghadiri Asian Central Nervous System meeting. Kali ini  kongres ACPM mengambil tema "Beginning of New Life in The 4th Industrial Revolution".
Ungkapan 'Revolusi Industri Keempat' pertama kali digunakan pada tahun 2016, oleh World Economic Forum. Revolusi Industri Keempat menandakan revolusi industri yang dilandaskan pada revolusi digital.

Revolusi Industri Keempat ditandai dengan munculnya terobosan teknologi di sejumlah bidang, termasuk robotika, kecerdasan buatan, nanoteknologi, komputasi kuantum, bioteknologi dan hal terkait lainnya. Dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution, Profesor Klaus Schwab, pendiri dan ketua eksekutif World Economic Forum, menjelaskan bagaimana revolusi keempat ini pada dasarnya berbeda dari tiga sebelumnya, yang terutama ditandai oleh kemajuan teknologi. Teknologi ini memiliki potensi besar untuk terus menghubungkan miliaran lebih banyak orang ke berbagai situs di dunia internet, secara drastis meningkatkan efisiensi bisnis dan organisasi dan membantu meregenerasi lingkungan alam melalui pengelolaan aset yang lebih baik.

Sayangnya kondisi kemajuan digital dan revolusi digital ini tidak terlepas dari manusia dan masalah yang terkait dengan kejiwaan manusia. Kompleksitas kehidupan di era digital ini dan berbagai tantangan terkait arus informasi yang demikian cepat membuat masalah sendiri bagi manusia yang terlibat di dalamnya dan sering kali menimbulkan masalah kejiwaan khususnya psikosomatik.

Arus informasi yang mudah diakses oleh siapa saja yang memiliki akses internet membuat keadaan ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk dokter jiwa seperti saya untuk memanfaatkan teknologi internet terutama media sosial sebagai cara menginformasikan masalah kejiwaan khususnya psikosomatik. Kesempatan presentasi saya kali ini di ACPM membawa topik terkait bagaimana membangun kesadaran masyarakat terkait masalah psikosomatik melalu media sosial. Semoga bisa membawa manfaat untuk para peserta dokter nanti terkait pemanfaatan teknologi informasi khususnya media sosial di era Revolusi Industri Keempat ini. Salam Sehat Jiwa


Senin, 20 Agustus 2018

Ubah Diri Ubah Nasib

To Approach Change Differently, Change Your Approach
Sumber : To-Approach-Change-Differen.jpg

Sering kali dalam kehidupan kita berharap kondisi berubah menjadi lebih baik. Kalimat "Saya berharap kondisi lebih baik buat saya" sering kali kita katakan sebagai cara untuk membuat diri kita lebih nyaman. Kita berharap orang lain juga berubah, "Saya pasti akan lebih sukses jika dia mendukung saya!". Benarkah itu yang seharusnya terjadi?

Pada kenyataannya kita yang harus berubah. Kita punya kapasitas diri untuk berubah ke arah yang lebih baik dengan kemampuan yang kita punya. Kemampuan kita untuk belajar sesuatu juga tidak terbatas selama kita hidup. Sayangnya sering kali kondisi ini tidak terjadi karena kita sendiri membatasi diri kita. Selama kita tidak berubah maka kondisi kita tidak berubah. Jangan berharap kondisi berubah untuk kita tetapi berharaplah kita berubah sehingga kondisi kita berubah.

Semoga dengan kemauan dan kemampuan kita terus belajar, kita dapat mengubah diri menjadi orang yang lebih baik lagi. Salam Sehat Jiwa

Jumat, 10 Agustus 2018

Manfaat Media Sosial Untuk Penyebaran Informasi Psikosomatik



Setiap tahun sejak 2011 saya selalu mengikuti perkembangan bidang psikosomatik medis dengan mengikuti kongres psikosomatik di tingkat Asia maupun Dunia. Biasanya kongres dilakukan selang dua tahun sekali sehingga setiap tahunnya pasti ada kongres psikosomatik karena berselang seling penyelenggaraannya. Tahun ini kongres psikosomatik kembali dilaksanakan di Seoul, Korea Selatan dan akan berlangsung 24-26 Agustus 2018. Saya sendiri akan membawakan presentasi dengan judul Social Media and Its Benefit to Build Psychosomatic Medicine Awareness in Indonesia. Ini merupakan hasil pengamatan saya dan kerja saya di media sosial selama kurun 2009-2018 yang ingin memberikan informasi lebih banyak lagi terkait dengan psikosomatik medis termasuk dalam blog yang saya tulis ini. Nantikan beritanya nanti langsung dari Seoul. Semoga membawa manfaata apa yang saya sampaikan nanti dan bisa menjadi inspirasi juga buat teman-teman sejawat di Asia. Salam Sehat Jiwa


Sabtu, 14 Juli 2018

Tips Agar Mampu Bekerja Keras dan Pintar



Salah satu buku yang baru-baru saja saya baca belakangan ini adalah berjudul "Deep Work". Buku ini mengajarkan kepada saya tentang bagaimana agar bisa bekerja keras dan bekerja pintar di jaman yang penuh tantangan dan gangguan ini.
Awalnya saya membaca buku ini adalah karena saya mencari tentang bagaimana agar bisa mengurangi keterlibatan di dalam media sosial agar punya lebih banyak waktu untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan bidang saya.
Beberapa poin utama yang saya rangkum dalam salah satu bab tentang bagaimana kita bisa mengerjakan suatu tugas penting yang saat itu harus diselesaikan segera adalah sebagai berikut :

1. Menempatkan waktu minimal sehari semalam untuk kerja keras di hal yang ingin kita selesaikan
Banyak di antara kita mungkin melakukan pekerjaan sambil lalu. Ada karena saking banyaknya tugas yang dia harus lakukan, dia sendiri bingung menentukan prioritas yang mana yang dulu harus dikerjakan. Kerjakan yang paling penting dan paling harus segera dilakukan. Sediakan waktu khusus untuk melakukan hal tersebut tanpa melakukan hal lain termasuk membuka media sosial. Jika sehari semalam tidak cukup mungkin bisa sampai dua atau tiga hari.

2. Di luar waktu yang kita khususkan tersebut, kita tetap melakukan kegiatan kita sehari-hari yang rutin kita lakukan.
Membagi waktu untuk melakukan sesuatu secara mendalam memang disarankan tapi jangan lupa untuk melakukan aktifitas sehari-hari di luar waktu khusus yang telah kita sediakan untuk itu.

3. Jangan lupa untuk tetap bersosialisasi untuk menstimulasi pikiran dan ide untuk berkembang.
Bersosialisasi secara langsung (bukan dengan media sosial) sangatlah penting untuk bertukar ide dan mengembangkan ide yang mungkin kita dapatkan saat bersama teman dan saudara kita.

Demikian poin yang saya dapatkan dari salah satu chapter di buku Deep Work ini. Semoga bermanfaat. Salam Sehat Jiwa

Jumat, 01 Juni 2018

Informasi Praktek dan Cuti Praktek

Sabtu, 9 Juni 2018 praktek mulai jam 8-12 (hanya menerima 15 pasien)
12-18 Juni CUTI PRAKTEK
Selasa, 19 Juni 2018 Kembali Praktek Seperti Biasa
Informasi : (021) 29779999

Minggu, 27 Mei 2018

Tidur Siang Cukup 10-20 Menit !

Image result for taking nap
Tidur Siang di Kantor (gambar diambil dari https://michaelhyatt.com/why-you-should-take-a-nap-every-day/ )

Kalau anda punya waktu untuk istirahat siang dan bisa sekejap tidur siang maka lakukanlah itu karena itu sangat baik untuk kesehatan fisik dan jiwa anda. Biasanya kita akan makan siang di sekitar jam 12-13, lalu setelah itu kita melanjutkan kerja. Namun jika anda punya waktu sekejap untuk tertidur maka tidurlah walaupun hanya sebentar, yaitu sekitar antara 10-20 menit. Hal ini dikarenakan tidur yang sebentar itu akan meningkatkan konsentrasi dan vitalitas anda yang mulai menurun di sore hari.

Kapan waktu tidur siang yang baik?
Ada salah satu penelitian yang mengatakan sebaiknya paling baik di antara jam 14.00-15.00, salah satu penelitian yang lain mengatakan 7 jam setelah anda bangun. Lalu bagaimana supaya bisa tidur dengan baik? Sediakan earplug atau pasanglah earphone anda, matikan handphone dan pasang reminder atau timer 25 menit. Ini dikarenakan biasanya orang butuh sekitar 5-7 menit untuk jatuh terlelap jadi tidur kita akan berkisar di antara 10-20 menit tadi, kalau memang "perlu sekali" boleh bawa penutup mata dan bantal leher.

Bolehkah Tidur Lebih Lama?
Beberapa penelitian tidur mengatakan ketika kita tidur kurang dari 5 menit maka hasilnya tidak akan bermanfaat dan jika lebih dari 30 menit sampai 1 jam 30 menit malahan kita bangun dengan kondisi yang tidak nyaman "drowsy" dan sepertinya malah semakin sulit berkonsentrasi. Jadi tidur siang sekitar 10-20 menit di antara jam 14.00-15.00 adalah hal yang sangat bermanfaat dan sudah dibuktikan di berbagai penelitian. Silahkan coba dan buktikan sendiri. Salam Sehat Jiwa

Kamis, 17 Mei 2018

Jadwal Cuti 12-18 Juni 2018

CUTI PRAKTEK 12-18 JUNI 2018 

Selasa, 19 Juni 2018 kembali Praktek Seperti Biasa

Salam Sehat Jiwa,
dr.Andri 

Rabu, 09 Mei 2018

Perlunya "Time Out"

Image result for time out
TIME OUT (image from Google Picture Search)
Kita cukup beruntung bulan Mei 2018 ini banyak cuti yang kita dapatkan di hari kerja. Sebagian mungkin merasa hal ini adalah suatu berkah karena bisa membuat dirinya mempunyai banyak waktu beristirahat tapi di lain pihak mungkin ada yang tetap melakukan kegiatan kerja walaupun hari libur. Terlepas dari semua itu, istirahat memang cukup penting untuk kita agar menjaga produktifitas kita.

Salah satu yang sering kita lupa adalah kita sering kali melakukan pekerjaan di luar batas kemampuan kita. Walaupun banyak dikatakan bahwa kemampuan manusia tidak terbatas, sayangnya kita sama-sama punya waktu terbatas alias waktu yang kita punya sama 24 jam. Dalam waktu 24 jam itu kita sering mengalokasikannya untuk berbagai macam kegiatan namun sering kali kita mengesampingkan kegiatan terkait kebugaran kita termasuk tidur dan aktifitas fisik Beberapa di antara kita bahkan tidur kurang dari 5 jam sehari dan tidak pernah aktifitas fisik.

Selain tidur dan melakukan kegiatan fisik, kita juga sebenarnya membutuhkan apa yang disebut sebagai istirahat sejenak atau TIME OUT. Kata Time Out mungkin kita banyak dengar dari istilah permainan olahraga di mana pelatih melakukannya untuk memberikan waktu istirahat sejenak atau memberikan strategi di tengah-tengah jalannya permainan. Sering kali kita melihat bahwa Time Out dilakukan di saat kritis, saat angka atau skor saling ketat berkejaran, menjelang akhir permainan atau saat permainan para pemain mulai terlihat tidak baik. Artinya harapan dari Time Out itu sendiri agar para pemain bisa kembali diingatkan atau kembali ke kondisi yang cukup baik.

Kita juga sering kali memerlukan Time Out saat kita merasa kelelahan atau jenuh. Ada kalanya saat sedang mempersiapkan sesuatu kita kehilangan konsentrasi atau merasa tidak banyak hal yang dilakukan karena terhambatnya ide. Saat inilah Time Out mungkin diperlukan agar kemampuan kembali menjadi lebih baik setelahnya. Beberapa penulis artikel ilmiah sering diingatkan ketika terjadi "stuck" ide saat menulis manuskrip, maka dia bisa menundanya dan memasukkan pekerjaan tersebut ke dalam laci (sekarang mungkin menutup window di laptop/komputer terkait pekerjaan itu) dan baru membukanya kembali beberapa hari kemudian. Kebanyakan cara ini berhasil untuk memberikan kepada kita penyegaran terhadap ide atau penulisan kita.

Time Out juga bisa kita lakukan saat misalnya kita berhadapan dengan sesuatu yang sepertinya mengalami jalan buntu termasuk dalam rapat atau saat berhubungan dengan orang lain termasuk keluarga sendiri. Tidak heran ada istilah "reses" untuk rapat saat menghadapi jalan buntu. Begitu juga saat kita berkomunikasi misalnya dengan pasangan kita atau anak kita, saat diskusi berjalan tidak terlalu baik maka kita bisa meminta waktu untuk "time out" sejenak.

Jadi jangan lupa untuk Time Out jika memang kita membutuhkannya, jangan memaksakan diri untuk melakukan hal yang penting dalam kondisi tidak terlalu baik. Time Out bisa memperbaiki kemampuan kognitif kita dan juga bisa membantu perasaan kita menjadi lebih baik lagi. Semoga artikel ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa

Kamis, 03 Mei 2018

Takut Terhadap Kalajengking? Itu Termasuk Fobia !


Beberapa spesies kalajengking memiliki dua jenis racun kalajengking. Kredit: Wikipedia




Orang yang mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap kalajengking bisa dikategorikan mengalami Fobia Spesifik. Biasanya orang yang ketakutan terhadap sesuatu yang spesifik seperti kalajengking atau binatang spesifik lainnya akan mengalami gejala-gejala seperti serangan panik ketika dia tidak mampu menghindari sumber ketakutannya.

Pada dasarnya orang yang mengalami fobia spesifik terhadap apapun akan menghindari untuk melihat, bersentuhan bahkan membayangkan benda yang dia takuti. Jika dia tidak mampu menghindarinya maka biasanya akan terjadi gejala-gejala kecemasan akut seperti jantung berdebar, sesak nafas, keluar keringat dingin, kepala seperti ringan hingga bisa mengalami penurunan tekanan darah sampai pingsan. Paling sering pasien akan mengalami serangan panik atau reaksi histerikal yang biasanya sering membuat pasien tidak bisa mengendalikan diri.

Orang dengan fobia spesifik seperti ini biasanya tidak banyak yang berobat ke psikiater atau psikolog. Mereka kebanyakan akan menghindari saja kondisi yang bisa memicu fobianya. Jika kondisi yang bisa memicu fobianya adalah sesuatu yang umum dan sering dihadapi misalnya ada yang takut nasi, buah jeruk atau hal umum lainnya, maka biasanya orang tersebut akan berobat. Salah satu teknik yang biasanya dilakukan adalah dengan melakukan desensitisasi atau exposure therapy. Namun demikian terapi ini biasanya akan diawali dengan teknik relaksasi atau juga terkadang memerlukan pengobatan dengan obat antidepresan dan atau anticemas agar saat respon cemasnya datang, pasien tidak mengalaminya secara berlebihan. Semoga informasi singkat ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa

Senin, 30 April 2018

Pendekatan Spiritual Pada Pasien Psikosomatik



Pasien yang sering saya temui di dalam praktek keseharian memang lebih banyak adalah pasien dengan gejala psikosomatik. Mereka lebih sering mengeluhkan gejala fisik namun seringkali tidak didasari oleh adanya kelainan fisik. Berbagai pemeriksaan telah dilakukan namun hasilnya tidak ada yang mendukung gejala fisik yang dikeluhkan. Saat seperti ini biasanya membuat pasien bingung kemana lagi akan mencari jawaban agar diri dan hidupnya kembali normal. 
Masalah psikosomatik sebenarnya memang dikaitkan dengan gangguan kejiwaan. Dalam berbagai literatur sering dikatakan bahwa keluhan fisik yang tidak ada dasarnya (keluhan somatik ; lebih dikenal awam sebagai keluhan psikosomatik) sering terjadi pada pasien depresi dan cemas. Saya sudah sering menjelaskan masalah psikosomatik terkait penanganan terapi dengan obat dan psikoterapi. Kali ini saya akan membahasnya dari sisi pendekatan spiritual. 

Pendekatan Spiritual Pada Pasien Psikosomatik

Banyak orang menyamakan pendekatan spiritual dengan pendekatan agama, walaupun sebenarnya pendekatan tersebut berbeda. Saya dalam konteks tulisan ini tidak membahas perbedaannya namun akan lebih menekankan pada pembahasan spiritual. 
Pasien yang mengalami penyakit fisik memang banyak yang beralih ke pendekatan agama dan spiritual ketika mengetahui penyakitnya berlangsung lama (kronis) dan mulai kehilangan harapan. Beberapa faktor yang berpengaruh kepada pasien yang mencari pendekatan spiritual adalah penyakit yang tidak pasti, adanya ketakutan, nyeri yang bersifat lama dan mengalami gangguan fungsi sehari-hari, merasa kehilangan kontrol dan merasa putus asa serta tidak ada harapan sembuh. 
Gangguan psikosomatik termasuk dalam kondisi yang gangguan yang dianggap pasien tidak pasti, berlangsung lama dan mengganggu kehidupan sehari-hari.

Dalam praktek saya sendiri sehari-hari menerima kenyataan ini dan sering kali mengatakan kepada pasien bahwa kondisi psikosomatik sebenarnya bisa dijelaskan namun memang kondisinya sedikit berbeda dengan gangguan fisik pada penyakit medis pada umumnya. Edukasi yang baik kepada pasien biasanya akan membuat pasien lebih memahami gangguannya dan sering kali membuat pasien bisa menerima. Walaupun demikian biasanya banyak juga pasien yang bertanya mengapa dirinya tidak bisa kembali normal seperti dulu. Pembahasan khusus terkait dengan hal ini tercantum dalam video YouTube saya Menjalani Hidup Setelah Gangguan Cemas  

Pada pendekatan spiritual pada kasus-kasus psikosomatik, ada beberapa poin yang kita harus ingat yang akan saya uraikan di bawah ini : 

1.Kita TUMBUH dan BERUBAH Senantiasa 
Kita tidak selalu mudah untuk "kembali ke normal". Hal ini perlu dipahami oleh pasien dan juga dokter agar keduanya bisa secara sadar dan realistis dalam melihat kenyataan terkait dengan gangguan psikosomatik. 
Pasien seringkali mengatakan bagaimana dia bisa kembali normal. Saya selalu mengatakan kepada pasien jikalau pasien kembali ke normal seperti sebelum sakit, berarti pasien akan kembali ke kondisi sebelum dia mengalami gangguan dan akan mengalami gangguan. Pasien biasanya agak bingung apa maksud pernyataan saya ini. Saya menjelaskan jika pasien ingin kembali ke masa di mana dia sebelum sakit, maka masa itu adalah masa di mana dia akan menuju sakit. Kondisi terkait gangguan psikosomatik bukan terjadi langsung karena bukan dari bakteri atau kuman tetapi lebih kepada proses adaptasi stres yang tidak berjalan baik. Jadi jika dia ingin seperti dulu maka artinya dia tidak berubah. Untuk itulah yang penting dilakukan pasien adalah dia tumbuh ke arah yang lebih baik dan mampu beradaptasi lebih baik saat ini agar tetap sehat ke depannya. Inilah yang penting, pasien harus memahami dia harus berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik

2. Kita Menyadari bahwa kondisi terkait gangguan psikosomatik mengubah hidup kita. Untuk itulah secara sadar dan ikhlas kita bisa menerima ini. Penerimaan terhadap gangguan psikosomatik yang mungkin dianggap berbeda dengan gangguan medis lainnya sangat penting karena dengan ini pasien bisa menyadari akan proses perubahannya dan mau menjadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya. Video terkait hal ini ada di Belajar Ikhlas Menghadapi Gangguan Kecemasan

3. Kita mengenali kerentanan kita sendiri dan kemungkinan akan berulangnya gejala psikosomatik ini. 
Pasien biasanya akan bertanya apakah gejalanya bisa kambuh kembali dan saya mengatakan jika kita tidak menjaga diri kita dengan baik maka bisa saja gejala itu kambuh dan itu harus diterima oleh pasien dengan baik. Proses terapi adalah proses yang aktif. Pasien juga perlu berupaya untuk menjadi orang yang lebih baik dalam beradaptasi dan tidak hanya menyerahkan pada obat sebagai satu-satunya yang bisa memperbaiki pasien. Video terkait hal ini ada di Mencegah dan Mengobati Gangguan Cemas

4. Kita mengembangkan dan mempertahankan pola hidup sehat 
Salah satu yang saya selalu pesankan kepada pasien adalah bagaimana dia bisa memulai untuk menjaga pola hidup sehatnya. Pasien harus terus berupaya mengembangkan hidup sehat yang cocok untuk dirinya dan mempertahankannya agar terus menjadi sumber yang baik untuk pasien. Video berikut ini menggambarkan bagaimana perubahan diri adalah kunci lepas dari cemas Perubahan Diri : Kunci Lepas dari Cemas 

Demikian sekilas apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi gangguan psikosomatik. Pendekatan spiritual terkait dengan hal ini memang salah satu yang penting. Penerimaan terhadap diri yang mengalami gangguan psikosomatik dan kemauan untuk berubah adalah kunci lepas dari gangguan psikosomatik. Semoga bermanfaat. Salam Sehat Jiwa 


Info Cuti Lebaran

Cuti Praktek 

Mulai Selasa, 12 Juni 2018 sampai dengan 18 Juni 2018 

Rabu 19 Juni Praktek Seperti Biasa mulai jam 13.00

Selasa, 03 April 2018

Seminar Awam Psikosomatik

Seminar Awam bersama Dr Andri dan Mind Up Consulting

“Psikosomatik, Ansietas dan Stres di Sekitar Kita : Apa dan Bagaimana Mengatasinya?”

Hari/Tanggal : Minggu, 6 Mei 2018
Jam : 14.00-16.00 WIB
Tempat : Backspace @ Lippo Mall Puri 1st Floor
Investasi : Rp.100.000 (termasuk coffe break dan doorprize)
CP dan Pendaftaran : Willy (wa : 0821-1377-5600)

Sabtu, 31 Maret 2018

Empat Pilar Hidup Sehat



Siapa yang tidak ingin SEHAT? Rasanya semua ingin sehat. Saya bisa mengatakan bahwa kesehatan adalah harta terbesar yang dimiliki oleh manusia. Jika kita sehat kita bisa melakukan apapun. Bayangkan diri kita mempunyai banyak harta tetapi tidak punya kesehatan, maka akan percuma tentunya.
Sayangnya tidak semua orang memiliki komitmen untuk menjaga kesehatan. Salah satunya karena kebiasaan yang tidak dibentuk. Orang kecenderungan akan membuat hidupnya lebih mudah tapi kondisi saat ini sering kali membuat kemudahan tersebut malah menjauhkan diri kita dari kesehatan, salah satunya dari gadget yang kita miliki.
Pada kesempatan ini saya ingin sedikit berbagi tentang bagaimana agar sehat fisik dan psikis yang bisa dilihat dari empat pilar hidup sehat ini.

1. Diet Yang Benar 
Diet bukan selalu berarti mengurangi makanan. Jika tubuh kita sudah ideal dalam artian Indeks Massa Tubuhnya sudah normal (Indeks Massa Tubuh didapatkan dari hasil pembagian antara berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat dan hasilnya antara 18,5 s.d. 22,9), maka yang paling penting adalah menjaganya agar tetap ideal.
Kebanyakan dari kita kesulitan menjaga berat badan ideal setelah usia tertentu, misalnya kebanyakan laki-laki di usia di atas 30-an sering lebih gemuk daripada saat dia lebih muda.
Salah satu diet yang baik bisa dimulai dengan mengurangi asupan kalori berlebihan, kurangi makanan yang mengandung gula pasir dan garam serta kurangi makanan yang digoreng.

2. Tidur Yang Baik
Tidur yang baik adalah salah satu upaya menjaga kesehatan. Sering kali kita mengabaikan pola tidur teratur dan membiarkan tubuh kita tidak berisitirahat optimal. Salah satu masalah yang sering disepelakan adalah tidur sesukanya dengan jam yang tidak teratur.
Tidur sebaiknya berkisar antara 6-8 jam dengan kualitas yang baik dan kemampuan untuk jatuh tertidur kurang dari 30 menit. Biasakan tidur sebelum jam 12 malam dan bangun di waktu yang sama.
Salah satu hal yang menunjukkan jam biologis tubuh kita baik adalah kita bisa bangun tidur di jam yang kira-kira sama setiap harinya tanpa alarm.

3. Aktifitas Fisik Yang Baik
Melakukan olahraga teratur mungkin buat sebagian orang sulit dilakukan, tetapi melakukan aktifitas fisik yang baik perlu dilakukan agar tubuh terbiasa untuk bergerak. Pola kerja saat ini yang banyak duduk sebenarnya merugikan secara kesehatan. Lakukan aktifitas fisik yang teratur, misalnya dengan berjalan kaki ke mana pun di sekitar tempat kerja anda. Bisa melakukan 10 ribu langkah per hari adalah aktifitas minimal yang dilakukan.
Latihan bisa ditambah dengan "resistance training" seperti plank (20-60 detik di ulang kembali setelah istirahat 20 detik sampai mampu), squat, atau lunges. Bisa dilakukan saat di kantor juga kan ? :)

4. Relaksasi 
Berikan waktu barang sejenak untuk pikiran kita berisitirahat. Perlu waktu sekitar 10-30 menit sehari melepaskan diri dari gadget dan rutinitas kita untuk "time out". Bisa dengan meditasi, relaksasi atau hanya memandang air (jikalau bisa di aquarium, kolam atau sekedar air di gelas kita).
Cara ini bisa membuat kita lebih relaks dan lebih baik lagi dalam menata pikiran yang sering kali tercampur aduk berbagai kepentingan.

Semoga tips sederhana di atas bisa membantu kita agar lebih sehat lagi ke depannya.

Sabtu, 24 Maret 2018

Terapi Depresi Yang Optimal dan Segera

Bersama pembicara saat diskusi (dok.pribadi)


Saat saya menuliskan artikel ini saya sedang berada di Bandara Juanda di Sidoarjo, Jawa Timur untuk menuju Cengkareng setelah menyelesaikan tugas siang tadi memberikan presentasi di depan psikiater dan calon psikiater di Surabaya. Topik kali ini berkaitan dengan terapi depresi yang optimal dan segera. Selain saya, ada beberapa pembicara lain dalam seminar Manajemen Depresi dan Cemas kali ini yaitu Dr.dr.Margarita Maramis,SpKJ(K) dan dr.Agustina Konginan,SpKJ(K) dari UNAIR serta pembicara tamu Profesor Toba Oluboka, psikiater dari Universitas Ontario, Kanada.

Topik yang saya bicarakan memang kali ini lebih mengarah kepada terapi obat untuk pasien depresi yang optimal dan segera. Seperti telah diketahui bahwa pasien depresi sendiri sering kali tidak mematuhi pengobatan yang disarankan oleh psikiaternya. Hal ini disebabkan salah satunya oleh ketakutan pasien akan pengobatan psikotropika dan juga karena menganggap depresi seperti gangguan medis infeksi yang bisa sembuh dengan pengobatan singkat. Kenyataannya depresi membutuhkan terapi jangka panjang dan sering kali seumur hidup.

Masalah terkait dengan pengobatan depresi memang sering kali menyebabkan pasien sendiri mengalami perasaan tidak nyaman. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan pasien melepaskan pengobatan di awal bulan pertama pengobatan. Penelitian mengatakan bahkan 28% pasien menghentikan obat di bulan pertama pengobatan dan lebih dari 60% pasien menghentikan obat di 6 bulan pertama pengobatan. Kondisi ini tentunya akan meningkatkan risiko keberulangan yang sudah cukup tinggi di pasien depresi.

Adakah Obat Depresi Yang Cocok Untuk Semua Pasien?

Pasien yang mengalami depresi jika mereka berobat ke psikiater tentunya akan menjalani pengobatan. Terapi yang dilakukan psikiater biasanya akan berhubungan dengan terapi obat dan terapi psikologis atau psikoterapi. Pengobatan yang diberikan biasanya berupa pengobatan antidepresan yang biasanya diberikan di awal sejak pertemuan pertama saat diagnosis ditegakkan. Beberapa rekomendasi obat lini pertama yang terbukti secara penelitian biasanya akan diberikan kepada pasien namun tidak semua pasien akan mendapatkan respon terapi yang sama.

Respon terapi yang berbeda bisa disebabkan oleh banyak faktor. Selain faktor genetik bawaan, keparahan depresi, riwayat depresi atau gangguan jiwa sebelumnya dan juga jenis gejala yang dialami pasien bisa membuat perbedaan dalam keberhasilan terapi. Sering kali kita menemukan dalam praktek bahwa pasien berasal dari latar belakang yang berbeda ditambah dengan kepatuhan yang berbeda.

Pada dasarnya obat yang beredar di masyarakat untuk pengobatan depresi secara ilmiah terbukti mampu memperbaiki gejala depresi. Perbedaan yang biasanya dikaitkan dalam terapi depresi adalah kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan obat yang diberikan. Pilihan dokter biasanya adalah obat-obat yang mampu ditoleransi baik oleh pasien dan biasanya terbukti efektif dalam mempebaiki gejala depresi. Untuk sampai pada kondisi ini sering kali dokter harus mengubah pengobatan bahkan di minggu-minggu pertama.

Perbaiki Gejala Pasien Depresi Segera!

Kita memahami bahwa depresi membawa dampak yang tidak baik buat pasien. Kualitas hidup pasien akan menurun dengan adanya gejala depresi. Gejala suasana perasaan yang menurun, putus asa, susah konsentrasi, sulit tidur atau kebanyakan tidur dan sering kali keluhan fisik yang tidak jelas dasarnya adalah sebagian besar gejala depresi yang mengganggu kehidupan pasien yang menderitanya. Kondisi ini tentunya tidak bisa terlalu lama dibiarkan.

Dokter jiwa dalam hal ini perlu melakukan upaya segera setelah diagnosis ditegakkan. Setelah pasien didiagnosis langkah selanjutnya adalah memberikan terapi obat pada pasien untuk membantu menyeimbangkan sistem saraf dan neurotransmitter di otaknya. Obat yang akan dipilih biasanya adalah obat yang telah terbukti secara penelitian dengan dosis awal yang biasanya setengah dari dosis optimal. Ketika dalam terapi ternyata setelah dua minggu pasien tidak mendapatkan perbaikan maka dosis ditingkatkan ke dosis optimal sambil terus dilihat apakah pasien cukup toleransi dengan efek samping yang mungkin timbul. Jika dalam empat minggu dosis optimal tidak juga tercapai perbaikan maka kita perlu segera mencari alternatif terapi lainnya atau dalam hal ini mengganti obat.

Hal tersebut bertujuan untuk mencapai fase pulih yang lebih segera dan mampu untuk mengembalikan fungsi pasien dengan lebih baik. Harapannya tentu agar kualitas hidup pasien akan meningkat kembali. Semoga artikel ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa

Sabtu, 17 Maret 2018

Mampukah Lebih Cepat Pulih dari Depresi?

Prof Roger MacIntyre bersama sebagian peserta APAC CNS Speaker Bureau Masterclass 17-18 Maret 2018 di Bangkok (dok.pribadi)

Saat saya menuliskan artikel ini saya masih berada di Bangkok, Thailand dalam rangka mengikuti acara Asia Pacific Central Nervous System Speaker Bureau Masterclass yang diadakan dua hari dari tanggal 17-18 Maret 2018. Ada beberapa negara yang ikut serta dalam acara ini selain Indonesia, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand sebagai tuan rumah, India, Pakistan, dan Hongkong . Acara yang ditujukan untuk memberikan hal-hal terbaru terkait depresi ini ditujukan agar para peserta bisa menjadi narasumber terpercaya nantinya di bidang depresi di negara mereka masing-masing. Acaranya sendiri dipandu oleh Prof Roger MacIntyre dari University of Toronto dan Prof Chee Ng dari Australia. 
Beberapa hal terkait depresi yang dikemukakan kembali dalam pertemuan ini adalah bagaimana di era digital saat ini kemungkinan atau kerentanan orang untuk mengalami depresi semakin tinggi. Apalagi telah diprediksikan oleh badan kesehatan dunia WHO bahwa tahun 2020 nanti Depresi akan menjadi beban global nomor dua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah. Salah satu masalah yang terkait dengan depresi di masyarakat adalah bahwa gangguan medis ini tidak dikenali bahkan oleh kalangan dokter sendiri. Penelitian epidemiologi mengatakan lebih dari 50% kasus depresi tidak dikenali atau tidak mendapatkan terapi yang baik di pelayanan kesehatan. Sayangnya perbaikan depresi akan lebih baik jika dikenali dini dan diterapi segera. 
Kembalikan Fungsi Pasien Depresi
Salah satu yang menjadi fokus utama dalam pembicaraan kemarin adalah bagaimana mencapai fungsi optimal kembali setelah terapi dan kembali pulih dari depresi. Salah satu yang ditekankan adalah selain deteksi dini, depresi juga berkaitan dengan kebutuhan terapi yang sering tidak bisa diwujudkan dengan baik. Terapi depresi sendiri bersifat individual yang memerlukan keterampilan klinis yang tinggi dari dokter yang menemui kasus ini di klinik sehari-hari. 
Salah satu masalah yang berkaitan dengan kembalinya fungsi adalah pasien depresi sering kali tidak mematuhi pengobatan dengan baik. Lebih dari 70% kasus depresi tidak mendapatkan terapi sampai tuntas atau batas waktu yang disarankan. Kebanyakan pasien depresi melepaskan pengobatan kurang dari 6 bulan pertama setelah pemberian obat. Inilah yang membuat banyak penelitian mengatakan bahwa kegagalan terapi pada pasien depresi berkisar antara 40-60%. Tidak mengherankan pula jika pada kenyataannya kekambuhan pasien depresi bisa mencapai lebih dari 80% dan bahkan untuk pasien yang telah lebih dari dua kali mengalami episode depresi maka meningkat menjadi lebih dari 90%. Inilah yang menyebabkan kebanyakan kasus depresi yang berat dan berulang disarankan untuk melakukan terapi seumur hidup. 
Penyulit untuk kembalinya pasien ke fungsi optimal juga terkait gangguan medis yang dialami pasien. Gangguan medis yang berkaitan dengan depresi pada banyak penelitian dikatakan adalah gangguan endokrin seperti diabetes tipe dua dan gangguan jantung yang kronis. Kondisi medis yang berkepanjangan memang sering kali menjadi penyulit dalam proses terapi selain memang secara fisiologis tubuh gangguan medis seperti jantung dan diabetes menyimpan masalah yang erat dengan terjadinya depresi. 
Gejala Depresi Pada Pasien Asia 
Beberapa gejala yang dicatat sebagai gejala yang sering dialami pasien depresi dan menggangu fungsi pekerjaannya adalah gangguan konsentrasi, kelelahan dan insmonia. Selain itu juga penelitian mencatat bahwa gejala depresi dikaitkan juga dengan keluhan fisik yang berkepanjangan dan sepertinya "tidak bisa sembuh". Berkaitan dengan penelitian epidemiologi, pasien depresi di budaya Asia dikaitkan dengan keluhan fisik yang lebih dominan daripada keluhan psikologis. Hal ini mungkin dikaitkan dengan penerimaan masyarakat dan keluarga untuk gejala fisik lebih baik atau bisa diterima daripada mengeluhkan keluhan psikologis. 
Hal ini menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan oleh para dokter yang menangani pasien dengan keluhan fisik yang sering kali tidak sesuai fisiologis tubuh atau bahkan tidak ada dasarnya, perlu memikirkan kemungkinan ke arah depresi. 


Upaya penyembuhan pasien depresi untuk mencapai hasil yang optimal terus diupayakan. Salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah kesadaran kita semua akan masalah depresi dan bagaimana mengenalinya dengan baik. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menjadi pendengar yang baik tanpa bersifat menghakimi jika ada teman dekat atau keluarga kita mengeluhkan keluhan depresinya. Nasehat yang terlalu dini atau mengatakan depresi hanya permainan pikiran yang berlebihan malah akan membuat orang yang mengalami depresi enggan untuk melanjutkan cerita tentang keluhan mereka dan akhirnya menjadi tidak mampu didiagnosis baik dan diterapi dengan benar. Semoga kita semua bisa lebih memahami depresi dan meningkatkan dukungan terhadap keluarga atau teman kita yang mengalami depresi, setidaknya dengan mendengarkan mereka. Semoga artikel laporan ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa. 

Fakta Depresi di Sekitar Kita

Kamis, 15 Maret 2018

Belajar dan Belajar

Saya selalu mencoba menyempatkan diri untuk selalu memperbaharui keilmuan saya di bidang psikiatri setiap tahunnya. Kali ini di awal tahun 2018 saya berkesempatan diundang untuk mengikuti Asia Pacific Master Class in Depression di Bangkok. Saya berharap bisa bertemu dengan banyak ilmu baru di sana dan harapan saya tentunya agar ilmu ini bisa membawa manfaat buat pasien-pasien saya di klinik.
Tentunya pergi meninggalkan praktek dan keluarga bukan perkara mudah. Praktek tentunya akan cuti dan pasien-pasien yang tidak biasa melihat pengumuman di blog atau medsos saya dan juga tidak menelpon RS sebelum datang biasanya baru tahu saya cuti setelah datang ke Omni Hospital Alam Sutera. Antrian panjang sesudah cuti juga terkadang menjadi kendala karena semua ingin dilayani di hari pertama praktek. Sayangnya memang kapasitas terbatas dan paling banyak saya melayani 30 pasien per hari.
Keluarga ditinggalkan juga sekarang menyimpan kerinduan sendiri saat sendirian di kamar hotel tempat acar berlangsung. Untunglah teknologi saat ini sudah baik sekali, saya membayangkan dulu menanti telepon istri saat saya pertama kali ke Amerika Serikat di tahun 2010. Waktu itu lebih murah menelpon dari Indonesia ke Amerika Serikat daripada sebaliknya, belum perbedaan waktu 12 jam yang membuat rada kesulitan mengatur waktu.
Namun dari semuanya, saya bersyukur masih diberikan kesempatan belajar untuk memperbaharui ilmu. Harapannya agar lebih baik lagi melayani. Semoga perjalanan ini membawa manfaat. Sampai ketemu di Live FB Bincang Sehat Bersama Dokter Andri Psikiater di FB saya Dokter Andri Psikiater, langsung dari Bangkok. Salam Sehat Jiwa

Sabtu, 10 Maret 2018

Kamis, 22 Februari 2018

Mengapa Kesembuhan Pasien Gangguan Jiwa Berbeda ?

Saya sering sekali ditanyakan pasien saat awal pertama bertemu di klinik tentang kapan pasien bisa sembuh total dari gangguan jiwa yang dialaminya. Kadang pasien sambil malu-malu bertanya, "Emangnya sakit jiwa ya saya dok? Kan saya cuma cemas-cemas aja!". 

Tentunya memang tidak mudah menerima bahwa seseorang mengalami gangguan jiwa, keliatannya seram sekali penyakit medis yang satu ini. Apalagi jika ditambah kepikiran bahwa mungkinkah bisa normal seperti sedia kala.
Kasus-kasus gangguan jiwa yang saya tangani sehari-hari memang seragam. Kebanyakan pasien datang ke saya karena keluhan psikosomatik yang didasari oleh kondisi cemas dan depresi. Berbagai macam latar belakang pasien dengan keluhan yang sama membuat saya bisa memberikan saran kepada pasien bahwa walaupun gejalanya sama bahkan diagnosisnya sama, belum tentu pengobatan dan sembuhnya sama. 

Ada hal-hal tertentu yang kita harus perhatikan jika berbicara tentang suatu proses terapi menuju kesembuhan. Lebih jauh lagi kita memahami bahwa kesembuhan dalam ilmu kedokteran jiwa mungkin agak sedikit berbeda dengan pandangan ilmu penyakit medis lainnya.

Sembuh Kok Masih Makan Obat?
Pasien sering bertanya, "katanya saya sudah sembuh tapi kok masih diminta makan obat?". Memang kesembuhan dalam ilmu kedokteran jiwa lebih berarti kalau gejala pasien terkontrol dengan pengobatan. Sering saya mendapatkan pasien yang merasa dirinya masih sakit karena masih makan obat, padahal kalau dilihat kualitas pasien membaik dengan pengobatan. Masalahnya adalah bahwa dia merasa kok baiknya dengan makan obat, pasien ingin lepas dari obat intinya.
Padahal sebenarnya banyak masalah medis yang membutuhkan pemakaian obat lama selain masalah kesehatan jiwa. Penyakit kronis seperti hipertensi (darah tinggi), diabetes (gula darah), jantung adalah sebagian kecil penyakit yang membutuhkan pemakaian obat lama. Masalahnya pasien bisa lebih menerima dibilang sakit medis tersebut dan harus makan obat lama daripada dikatakan sakit jiwa dan harus makan obat dalam waktu lama. Lagi-lagi stigma gangguan jiwa memang lebih tidak nyaman buat orang menderitanya bahkan untuk profesi psikiater sendiri.

Penggunaan obat pada gangguan jiwa sering kali membutuhkan waktu. Apalagi untuk kasus-kasus tertentu seperti skizofrenia, demensia, bipolar dan beberapa kasus depresi dan kecemasan. Tentang hal ini telah pernah saya bahas di artikel saya yang lain. Saat ini kita coba melihat mengapa pasien dengan diagnosis yang sama tapi kok sembuhnya berbeda. Apa faktor-faktor yang berpengaruh?

Genetik Bawaan
Sering orang lebih mengartikan bahwa yang dimaksud dengan genetik bawaan ini adalah bawaan keturunan. Namun yang dimaksud adalah faktor genetik bawaan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Analoginya saya sering mengatakan seorang yang merokok dan mengalami kanker paru-paru itu tidak semua, ada faktor genetik bawaan yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker. Tidak heran tidak semua orang merokok mengalami kanker paru-paru. Begitu juga dengan gangguan jiwa, tidak semua orang yang mengalami masalah tekanan dalam hidupnya akan mengalami gangguan jiwa.

Faktor Psikologi
Sering kali faktor psikologi termasuk kepribadian dan pola asuh sangat mempengaruhi berkembangnya gangguan kejiwaan. Walaupun hal ini juga tidak lepas dari faktor genetik bawaan. Tidak heran walaupun dari ibu dan bapak yang sama, karakter masing-masing anak bisa berbeda. Walaupun pola asuhnya mirip antara satu sama lain. Di sinilah peran faktor kepribadian berpengaruh. Beberapa kepribadian tertentu sangat erat dengan terjadinya masalah kejiwaan seseorang. 
Seorang yang mempunyai kepribadian obsesif kompulsif, orang yang suka sekali dengan keteraturan dan kerapihan mungkin akan lebih mudah mengalami gangguan kecemasan daripada orang yang mempunyai kepribadian "easy going" . 
Orang dengan kepribadian introvert mungkin bisa lebih mengarah ke depresi. Walaupun tidak selalu, faktor kepribadian juga jadi penentu mengapa walaupun gejalanya sama sering kali kondisi kesembuhan pasien berbeda. Kalau dasarnya pencemas, maka psikoterapi selain pengobatan obat bisa jauh lebih membantu, walaupun ini harus dilakuan dengan tepat dan benar.

Lingkungan 
Tidak bisa dipungkiri bahwa pasien berasal dari berbagai macam lingkungan. Walaupun misalnya faktor pemicu stresnya adalah pekerjaan, sering kali gejala yang dirasakan pasien berbeda. Hal ini karena persepsi terhadap lingkungan juga berbeda antara tiap pasien. Beberapa sangat dipegaruhi faktor lingkungan, lainnya tidak. Belum lagi faktor keluarga dan lingkungan rumah pasien. Sering masalah timbul juga karena dukungan keluarga yang berbeda setiap pasiennya. Ini juga sangat pengaruh terhadap faktor kesembuhan nantinya.
Ketiga faktor di atas punya peranan yang sangat penting dalam kesembuhan dan bagaimana proses kesembuhan itu terjadi. Ada pasien yang diberikan pengobatan dengan segera bisa cepat mengalami kesembuhan, ada juga yang lambat sekali proses kesembuhannya. Belum lagi ditambah dengan masalah berkaitan dengan narkotika di masa lalu. Pasien dengan riwayat penggunaan narkotika kadang lebih lama pengobatannya dibandingkan dengan pasien yang tanpa riwayat narkotika.
Jadi tidak heran walaupun diagnosisnya sama kesembuhan setiap pasien gangguan jiwa bisa berbeda-beda prosesnya. Semoga artikel ini bisa sedikit membuat kita lebih memahami apa saja yang mempengaruhi faktor-faktor yang terkait dengan kesembuhan pada pasien gangguan jiwa. 
Salam Sehat Jiwa

Tulisan ini pernah dimuat di Kompascom 9 Oktober 2014

Rabu, 14 Februari 2018

Cuti Praktek 16-19 Maret 2018

Cuti Praktek 16-19 Maret 2018
akan Mengikuti MasterClass : Depression di Bangkok 


Rabu, 31 Januari 2018

Perubahan jam Praktek untuk hari Rabu dan Jumat

Mulai Februari 2018, khusus untuk praktek di hari Rabu dan Jumat
Jam praktek berubah ke jam 13.00-16.00
Mohon menelpon terlebih dahulu sebelum datang

Terima kasih
Info : 02129779999

Selasa, 30 Januari 2018

Persepsi Kita adalah Segalanya


Saya baru saja memasuki tahun ke sepuluh saya berpraktek, sejak 2008 saya berpraktek, saya memang mengkhususkan diri pada kasus-kasus gangguan cemas dan depresi. Sejak tahun 2010 saya lebih mengkhususkan lagi kepada masalah-masalah gangguan psikosomatik yang sering dikaitkan dengan adanya keluhan fisik yang tidak didasari adanya masalah di organ yang pasien keluhkan. Depresi dan Gangguan Cemas adalah dasar dari keluhan psikosomatik ini biasanya. 
Telaah pasien terkait masalah psikosomatik tentunya dikaitkan dengan pendekatan BIOPSIKOSOSIAL. Secara biologi tentunya pasien yang mengalami masalah kejiwaan memang dikaitkan dengan adanya perubahan fungsional di otak pasien. Hal ini sudah dibuktikan secara ilmiah dan telah dipublikasikan sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Ini artinya bahwa kondisi yang berkaitan dengan masalah kejiwaan bukanlah masalah yang tidak ada dasarnya di otak. Penjelasan tentang hal ini memang sering kali tidak mudah dipahami namun tentunya bukan berarti tidak bisa dipahami. Dalam praktek sering kali saya menerangkan secara sederhana peran dari fungsi otak dan kaitannya dengan masalah gangguan kejiwaan. 
Faktor psikologis adalah bagian kedua yang berkaitan dengan masalah kejiwaan. Faktor Psikologis ini sebenarnya juga dikaitkan dengan faktor biologis atau genetik bawaan. Kita bisa melihat dalam kenyataan hidup sendiri bahwa anak yang dilahirkan di keluarga yang sama dengan orang tua yang sama dan diasuh oleh keluarga yang sama juga bisa berbeda sifat dan perilakunya. Anak saya sendiri kembar dan keduanya berbeda sifat dan perilaku walaupun kembar identik, satu telur dan satu plasenta tentunya. 
Lingkungan atau faktor sosial adalah faktor yang sering lebih diperhatikan banyak orang sebagai salah satu pemicu masalah kejiwaan. Stres kerja, beban pekerjaan, masalah rumah tangga, masalah sekolah dan kuliah sering dikaitkan dengan masalah kejiwaan yang dialami seseorang. Padahal semua itu tidak serta merta berlaku untuk semua orang. Kita sendiri bisa melihat bahwa banyak orang yang mengalami masalah yang sama tapi responnya berbeda. Respon inilah yang berkaitan dengan bagaimana kita menghadapi masalah dalam kehidupan kita dan tentunya ini akan berkaitan dengan kesehatan jiwa kita sendiri. 
Persepsi dan Respon Kita
Respon kita terhadap stres sebenarnya dikaitkan dengan persepsi kita terhadap pemicu stres tersebut. Persepsi kita terhadap stres itu bisa beda-beda setiap orang walaupun jenis stresnya sama. Contoh jika kita harus bermacet-macetan di jalan tol menuju tempat kerja, jika dalam perjalanan kita sendiri tanpa adanya teman bicara maka mungkin kadar stres kita akan meningkat, namun jika dalam perjalanan kita ditemani oleh pasangan kita sambil bercerita tentang hal-hal baik dalam keluarga kita mungkin respon dan kadar stres kita akan berbeda. Persepsi kitalah yang menentukan hal ini. 
Kita tidak bisa mengubah lingkungan, itu adalah hal di luar dari diri kita. Namun sebaliknya kita bisa mengubah diri kita sendiri, kita bisa mengubah persepsi kita sendiri dan bagaimana kita merespon stres. Kita sering kali mendengarkan para bijaksana mengatakan kita harus SABAR dan IKHLAS. Kedua hal ini sepertinya mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan. Ikhlas menerima keadaan seperti apa adanya, menerima bahwa hal yang terjadi pada diri kita adalah memang yang harus terjadi pada diri kita tanpa mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi pada diri kita bukan pada yang lain adalah salah satu bentuk penerimaan dan juga cara awal untuk melatih "mindfulness". 
Kita harus mengupayakan persepsi positif terhadap hal yang terjadi pada kita. Kita harus mencari hal positif dari segala hal yang terjadi pada diri kita. Ini akan membantu kita untuk mampu mengupayakan terus berpikir positif. Pada intinya persepsi kita yang akan membuat segalanya berbeda. 
Mulai sekarang ada baiknya kita mulai membantu diri kita sendiri untuk memperbanyak asupan asupan positif di dalam pikiran kita, karena pada dasarnya pikiran negatif tidak mudah dihilangkan kalau tidak ada cadangan pikiran positif dalam jumlah banyak. Agar mampu berpikir positif, kita bisa melatih awalnya dengan perilaku positif, melakukan banyak hal-hal positif. Kebiasaan positif akan mampu mengubah pikiran kita dan begitupun sebaliknya. Semoga kita bisa melatih pikiran positif kita agar menjadikan kita selalu mempunyai persepsi yang baik akan segala hal dalam kehidupan kita. Salam Sehat Jiwa
Sumber tulisan di blog Kompasiana saya sendiri : https://www.kompasiana.com/psikosomatik_andri/5a6fc7ddab12ae269e4050c2/persepsi-kita-adalah-segalanya 

Minggu, 28 Januari 2018

1000 Buku Cemas Sudah Terjual, Masih Tersisa 1000 Buku Lagi!

Saya berterima kasih kepada para pembaca buku saya yag terbaru "Segala Sesuatu Tentang Cemas" yang telah membeli buku saya sejak diterbitkan Agustus 2017 kemarin.
Akhir Januari ini telah 1000 buku saku terjual. Semoga bagi yang belum memilikinya bisa segera memiliki. Harganya Rp.30 ribu rupiah saja (di luar ongkos kirim).
Persedian buku tinggal 1000 lagi dan hanya bisa didapatkan dengan memesan online.
Cara Pesannya mudah bisa dengan pesan lewat WA ke 08994211055 dengan menuliskan PESAN BUKU beserta nama, alamat lengkap dan jumlah pesanan. 
Buku akan dikirimkan setiap Selasa dan Jumat dari Tangerang setelah pembayaran diterima.
Terima kasih semua

Salam Sehat Jiwa
dr.Andri

Minggu, 21 Januari 2018

Kecanduan Gawai dan Internet

Kecanduan internet dan gawai belakangan mulai menjadi perhatian. Walaupun dalam buku kriteria diagnosis terbaru dari American Psychiatric Association yaitu DSM 5 terbitan tahun 2013 belum dimasukkan dalam kriteria diagnosis kecanduan, kecanduan internet (termasuk kecanduan game online yang dimainkan lewat komputer dan gawai) sebenarnya telah menjadi perhatian dan ingin dimasukkan dalam salah satu kriteria gangguan jiwa. Belakangan ada niatan WHO yang akan merevisi ICD 10 dan memasukkan kriteria kecanduan game dan internet dalam kriteria diagnosis gangguan jiwa.

Beberapa hal yang dikaitkan dengan kriteria kecanduan internet (dalam hal ini juga termasuk kecanduan game online) adalah
1. Hilangnya kontrol terhadap penggunaan internet
2. Adanya kecenderungan terus menerus (preokupasi) terhadap internet
3. Adanya perubahan suasana perasaan jika tidak terpapar terhadap internet (game) dalam hal ini menjadi depresi dan cemas berlebihan
4. Adanya gejala "putus zat" ketika tidak berhubungan dengan internet, ada perasaan mudah tersinggung, cemas berlebihan, tidak nyaman dan bisa agresif atau tantrum
5. Adanya penurunan fungsi pribadi dan sosial (dalam hal ini dalam pekerjaan dan akademik)
6. Menghabiskan waktu lebih dari 6 jam berhubungan dengan internet di luar kepentingan akademik dan atau lebih dari 6 bulan penggunaan internet yang tidak ada korelasi dengan kepentingan sehari-hari.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga telah membuat adanya hubungan antara gangguan kecanduan internet dengan beberapa gangguan jiwa seperti depresi, pikiran bunuh diri, perilaku obsesif kompulsif, gangguan makan, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas, serta penyalahgunaan zat dan alkohol. Penelitian di Amerika Serikat sendiri menyatakan bahwa lebih dari 26,3% remaja di sana termasuk dalam kategori kecanduan internet yang mana angka ini melebihi angka pada kecanduan zat lainnya.

Perubahan di Otak

Kecanduan internet dihubungkan dengan perubahan di sistem dopamin. Aktifasi yang berlebihan dalam penggunaan internet berhubungan dengan berkurangnya transporter dopamine di otak yang membuat stagnasi atau berdiamnya dopamin lebih lama di celah sinaps otak. Hal ini yang membuat stimulasi dopamin berlebihan yang akan menyebabkan efek euforia. Hal ini terlihat juga pada orang yang mengalami kecanduan zat dan perilaku adiktif lainnya.
Selain itu pula penelitian mengatakan adanya peningkatan aliran darah di area otak yang berhubungan dengan "reward and pleasure". Artinya internet akan mengaktifkasi pusat rasa senang di otak dan akan membuat rasa ingin lagi dan lagi yang lebih besar.

Pencegahan Kecanduan Internet Pada Anak dan Remaja

Beberapa kasus kecanduan internet dan game online sudah tampak di masyarakat kita sehari-hari. Belakangan kita mendengar adanya dua siswa di Bondowoso yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena kecanduan game. Beberapa hal di bawah ini mungkin bisa jadi tips buat kita bersama

a. Jadilah contoh yang baik buat anak
Kita sebagai orang tua memang juga harus mengurangi ketergantungan kita terhadap gawai, game dan internet. Mulailah membaca buku kembali daripada memegang tablet atau smartphone kita berlama-lama

b. Buat Aturan yang Tepat
Kita tidak bisa menghindarkan mereka dari gawai, dalam pergaulan juga banyak yang akan mempengaruhi mereka, tapi kita bisa memberikan aturan yang tepat terkait penggunaan gawai ini. Berikan waktu yang sesuai untuk anak-anak memegang gawai dan batasi waktunya.

c. Lakukan aktifitas yang lain
Lakukan aktifitas lain seperti membaca buku, "board games", seni karya, olahraga atau permainan yang tidak menggunakan gawai.

d. Beli Gawai untuk keperluan yang baik bukan hanya untuk keperluan sosial

e. Bermainlah bersama anak tanpa gawai!

f. Luangkan waktu untuk bersama anak tanpa ada gawai di sekitar kita termasuk saat makan bersama di luar rumah.

Saya sendiri tahu tidak mudah di era internet melakukan hal-hal di atas, tetapi jika kita mampu mengurangi ketergantungan kita terhadap gawai maka hasilnya pun akan lebih baik buat kita bersama ke depannya. Salam Sehat Jiwa (Twitter : @mbahndi)