Jumat, 10 April 2020

Beban Berat Pasien Gangguan Jiwa di Masa Pandemi COVID-19


Beban Berat Pasien Gangguan Jiwa di Masa Pandemi COVID-19
Oleh : dr.Andri,SpKJ (Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, Praktek di OMNI Hospital Alam Sutera)

Sampai saat tulisan ini dibuat saya masih berpraktek seperti biasa di rumah sakit. Jam praktek sore memang saya tiadakan dan jumlah pasien pun dibatasi sesuai himbauan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) agar psikiater juga berperan aktif dalam memutuskan rantai penularan COVID-19 dan mengurangi orang datang ke rumah sakit jika tidak terlalu penting atau masih bisa ditunda.
Beberapa pasien yang saya temui satu bulan belakangan ini adalah pasien yang kambuh sakitnya setelah bertahun-tahun sembuh. Saya memang sudah sejak 10 tahun yang lalu fokus pada penanganan kasus gangguan cemas dan masalah psikosomatik, kedua kasus ini mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir dan di masa pandemi ini keberulangan gangguan ini pada pasien yang sudah sembuh meningkat.  Pandemi COVID-19 ini telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan yang akhirnya membuat kondisi pasien kembali seperti dulu terutama sekali adalah pasien gangguan cemas. Mereka mengatakan bahwa gejala-gejala cemas mulai muncul seiring pemberitaan yang masif terkait COVID-19 ini.

Bagaimana Dengan Pasien Gangguan Jiwa Berat?

Pandemi COVID-19 merupakan krisis yang berat bagi pasien dengan penyakit mental berat seperti skizofrenia dan sistem perawatan kesehatan yang melayani mereka seperti dikatakan Dr Benjamin Druss dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Rollins Universitas Emory di Atlanta, Georgia.
Dalam pendapat yang dipublikasikan secara online pada 3 April 2020 di JAMA Psychiatry, Dr Druss mengatakan bahwa "bencana pandemi global ini secara tidak proporsional mempengaruhi populasi masyarakat miskin dan rentan serta pasien dengan penyakit mental berat. Mereka mungkin termasuk yang paling terpukul. Lebih jauh Dr. Druss mengatakan pasien dengan gangguan jiwa berat memiliki "berbagai kerentanan" yang menempatkan mereka pada risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi COVID-19.
Beberapa hal Ini termasuk tingginya angka merokok, menderita penyakit kardiovaskular dan paru-paru, kemiskinan, dan tunawisma. Bahkan merujuk pada apa yang terjadi di Amerika Serikat, perkiraan menunjukkan 25% dari populasi tunawisma di Amerika Serikat memiliki penyakit mental yang berat. "Anda harus mengawasi populasi rentan ini ; mereka yang cacat dan mengalami disabilitas fisik, orang-orang dengan penyakit mental yang serius, orang yang miskin, dan orang yang memiliki jaringan sosial terbatas," lanjut Dr Druss. Indonesia sendiri dari data terakhir di Riskesdas 2018 ada sekitar 450 ribu orang mengalami gangguan jiwa berat.

Saatnya Mendayagunakan Telepsikiatri

Penting bagi pasien dengan gangguan jiwa berat untuk mendapatkan informasi terkini dan akurat tentang mengurangi risiko dan mengetahui kapan harus mencari perawatan medis untuk COVID-19. Bahan edukasi komunikasi yang dikembangkan untuk populasi umum perlu dirancang untuk mengatasi “melek” kesehatan terbatas dan tantangan dalam menerapkan rekomendasi jarak fisik.
Pasien dengan gangguan jiwa berat juga membutuhkan dukungan dalam mempertahankan kebiasaan sehat, termasuk diet dan aktifitas fisik, serta manajemen diri kondisi mental dan kesehatan fisik kronis seperti masalah kardiovaskuler. Dr Druss menekankan bahkan dalam menghadapi kendala saat ini pada pemberian perawatan kesehatan mental, memastikan akses ke layanan sangat penting. Jangan sampai konsultasi rutin menjadi terhambat karena adanya pandemi ini. Telepsikiatri adalah salah satu cara efektif untuk mengatasi masalah ini kata Dr Druss lebih lanjut.
Dokter jiwa tentunya sering menjadi dokter pertama yang dikunjungi untuk orang dengan gangguan jiwa berat, sehingga para dokter ini perlu pelatihan untuk mengenali tanda dan gejala COVID-19 dan mempelajari strategi dasar untuk mengurangi penyebaran penyakit, tidak hanya untuk pasien mereka tetapi juga untuk diri mereka sendiri. Memastikan keselamatan dan kesejahteraan penyedia perawatan kesehatan mental adalah "prioritas yang jelas" Dr Druss mengatakan "Setiap penyedia layanan kesehatan diberikan tanggung jawab memeriksa banyak pasien, jadi menjaga kesehatan fisik dan mental mereka akan sangat penting." Lebih lanjut Dr Druss mengatakan.

Untuk meringankan ketegangan COVID-19 pada pusat kesehatan mental masyarakat seperti panti-panti jiwa dan rumah sakit jiwa yang berisiko tinggi untuk wabah dan memiliki kapasitas terbatas untuk mengobati penyakit medis, tempat seperti ini memerlukan rencana darurat untuk mendeteksi dan mengatasi wabah jika terjadi.
"Perencanaan dan pelaksanaan yang hati-hati pada berbagai tingkat akan sangat penting untuk meminimalkan hasil yang merugikan dari pandemi ini untuk populasi yang rentan ini," kata Dr Druss.

Kita Harus Bergerak Cepat

Pengalaman praktek belakangan ini di masa wabah COVID-19 ditambah dengan kutipan pemberitaan di atas mengatakan bahwa masa pandemi ini membuat masalah yang besar bagi banyak pasien gangguan jiwa. Keberulangan gejala dan kesulitan adaptasi karena latar belakang masalah kejiwaan yang dimiliki membuat pasien gangguan jiwa lebih rentan mendapatkan efek dari pandemic ini baik secara mental maupun secara fisik.
Penyedia layanana kesehatan jiwa juga diminta untuk bisa tanggap terhadap kondisi ini. Beruntungnya di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) cepat tanggap dalam menjamin penyediaan layanan kedokteran jiwa dengan tetap menjalankan pembatasan fisik dan mengurangi pasien datang ke rumah sakit dengan layanan telepsikiatri semasa tanggap darurat ini kecuali pada kondisi gawat darurat psikiatri seperti percobaan bunuh diri, melukai orang lain dan gejala psikotik (halusinasi dan delusi) yang berat. Sesuai dengan Surat Keputusan nomor : 034/Sek/PDSKJI/III/2020 Jakarta tertanggal 22 Maret 2020 yang salah satunya menghimbau penggunaan layanan telepsikiatri/telemedisin jika memungkinkan di instansi tempat dokter jiwa bekerja.
Semoga wabah COVID-19 ini segera berlalu. Tetap Jaga Jarak Aman, Cuci Tangan Dengan Sabun dan Air Mengalir, Pakai Masker Jika Berada di Luar Rumah dan Jangan Lupa Jaga Kesehatan Jiwa dengan berpikir rasional dan tidak terlalu khawatir berlebihan dalam menanggapi pandemi ini. Salam Sehat Jiwa.

Sumber artikel :

COVID-19: Psychiatric Patients May Be Among the Hardest Hit ditulis oleh Pauline Anderson dan diterbitkan secara online pada April 09, 2020 di https://www.medscape.com/viewarticle/928416#vp_1


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sore dr Andri. Sy pasien dokter,di RS Omni (no identitas medis sy 00-14-17-77). Saat ini mengalami kekambuhan gangguan cemas. Apakah sy bisa konsultasi online/tdk k RS? Sy tggl di Bekasi. Maaf dok sy perlu bantuannya. Tks